Lauk ikan, sambal ikan, sayur ikan
Itulah hal yang sangat baru bagi saya. Di kampung jarang sekali makan ikan segar. yang ada ikan asin, ikan laut.
Di sini, hari-hari ikan. Maklum dekat dengan nelayan.
Setiap sore, sekitar jam 4 selalau ada anak-anak nelayan berkeliling kampung dengan teriakan khas
"E iwak! E Iwak," anak-anak kecil usia sekolah dasar berjalan kakai sambil membawa ikan segar dari danau Jempang.
Harga ikan lebih murah daripada harga sayur. Ikan yang dijajakancukup diikat dengan tai, seperti akan dibuat kalung. Isinya, rata-rata 10 ekor. Pembelinya, sebagaian besar pendatang.
Jika ikan tidak laku dijual akan dibuat ikan asin oleh pemiliknya.
Ikan di sini sangat banyak. Bagi saya yang jauh dari kehidupan air, sangat senang bermain di kampung nelayan. Di WC terapung banyak s ekali ikan berkeliaran.
Penduduk setempat tidak mau menangkap jenis ikan tersebut. Karena mereka tahu ikan2 itu makan kotoran manuisa. Inilah kehebatan Danau Jempang.
Mengapa sulit sayur? Banyak lahan kosong, banyak kebun. Banyak hutan.
"Kami ingin punya ladang di dekat orang-orang transmigrasi," kata salah satu penduduk Dayak.
Pertanyaan itu terjawab.
Mereka ingin belajar bertani seperti orang-orang Jawa. Maklum, di sini belum kenal pupun kimia, belum kenal pupuk kandang. Hidupnya tanaman pertanian karena kesuburan hutan yang dibuka. Ditanam disiangi dibiarkan, berbuah, dipanen. Sungguh suburnya bumi dayak.
"Pak daun singkong itu beracun, jangan dimasak!" kata salah seorang tetangga ketika saya memetik daun singkong karet yang tumbuh subur di dekat "belik".
Daun singkong liar itu menjadi menu menyenangkan hari-hari saya. Mereka tidak tahu bahwa daun singkong karet lebih segar daripada daun singkong ubi kayu. Yang mereka tanam ubi kayu. Tidak kenal ubi yang disambung / distek. Lama-lama mereka penasaran juga, dan mengikuti jejak saya memanfaatkan daun singkong karet sebagai sayur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar