IKUT PANEN PADI (HARVEST SEASON AT DAYAK BENUAQ FARM)
Musim panen tiba.Berarti musimnya makan beras kampong yang
wangi itu.Beras kampong yang menjadi primadona masyarakat.Bagaimana tidak,
rasanya enak, dan metika baru masak pun tercium baru harum yang khas.Mungkin
kalau di Jawa melebihi beras raja lele yang terkenal.
Sabtu telah janjian sama anak-anak. Siapa yang ngetam di
ladang. Ternyata mereka sangat senang ketika mengetahui bahwa saya akan ikut.
Maklum sangat jarang ada pegawai yang mau turun ke ladang.Pegawai rata-rata
“miyayeni”.Sedangkan saya ingin mencari hiburan.
Sepatu, celana panjang, baju lengan panjang, srahung (topi
untuk pergi ke sawah, Mandau (pisau panjang khas Kalimantan) air minum.Wah ke
ladang bersepatu?Itulah perlengkapan yang harus dikenakan.Tidak ada petani yang
ke ladang memaki rok atau celana pendek.
“Jauh Pak ladangnya?” tanyaku dalam perjalanan berangkat.
“Tidak jauh, hanya satu jam,” jawabnya singkat.
Satu jam? Satu jam perjalanan orang Dayak. Mereka tidak ada
yang berjalan lambat.Maklum terbiasa berjalan jauh di hutan. Bahkan sering
teman-teman pegawai bergurau “Ke ladang apa ke kantor?” Sindiran kepada teman
yang berjalan cepat seperti jalannya orang pergi ke ladang.Tidak ada satuan
kilo meter.Karena di hutan hanya ada jalan setapak.
Beberapa kali mereka berhenti berjalan.Menunggu saya yang
tertinggal di belakang.Pemandangannya sangat bagus.Tampak kayu-kayu hutan bekas
dibakar dibiarkan berserakan.Hanya kayu yang dianggap bagus untuk papanlah yang
diambil dibawa pulang.
Melewati bukit-bukit yang penuh tumbuhan padi.Suara biantang
beraneka ragam terdengar.Bahkan ada suara bekantan (kera berhidung mancung)
yang sangat nyaring.
Kami sampai di ladang.Langsung menuju huma.Rumah kecil
berbentuk panggung di tengah hutan, diantara rimbunnya padi yang menguning.
“Naik Pak, minum teh dulu,”
Datang dari kampung lumayan capek. Tapi terhibur oleh ar oma
hutan yang khas.The hangat sudah kami minum.Di dalam gubug yang luasnya sekitar
4 x 6 m itu menjadi ruang serba guna.Ada bantal untuk tidur, ada perabotan
amsak cukup untuk 5 orang.Tungku pun berada di atas, jadi satu ruang. Tinggi
ruangan sekitar 1, 5 meter.
Di bawah, terdapat babi, anjing yang dibiarkan
berkeliaran.Sisa makanan atau sampah dapur langsung terbuang di bawah dan
dinikmati babi.
Mulailah turun “ngetam” memanen.Saya diberikan keranjang di
punggung dan pisau potong padi. Ternyata cara panen pun berbeda dengan di jawa.
Yang diambil hanya bulir padinya.Tak perlu mengambil bersama
tangkainya.Dipotong dengan pisau, langsung dimasukkan ke keranjang di belakang.
Ada hal yang luar biasa di sini.Padinya tinggi-tinggi.Saya
yang bertinggi badan 170 cm harus meraih buliran padi di atas kepala
saya.Berarti sangat subur.Wajar kalau padinya enak.Apalagi padi yang ditanam
berumur 6 bulan.
Untuk berjalan harus hati- hati.Tanah yang diinjak
kelihatanya hanya berair se mata kaki.Tetapi lama kelamaan bisa mencapai atas
lutut.Tanah penuh sambah.Tanah gambut.Sampah yang bertumpuk bertahun tahun dari
dedaunan hutan.Keadaan ini membuat waktu lebih lama untuk memanen padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar