Minggu, 26 Juni 2016

PAK KAMI TIDAK ADA GURU



PAK KAMI TIDAK ADA GURU

“Pak, kami tidak ada guru!”
Terdengar suara anak- anak di luar.Padahal saya berbaring di ruang penjaga di ujung utara lokasi sekolah. Berjarak 20 meter dari kelas. Anak-anak masih mencari.Mungkin karena sandal saya berada di luar, sehingga mereka mengetuk pintu.

Maunya beristirahat agar tidak terganggu anak- anak yang ramai bermain.Tetapi inilah pengabdian.Mereka sangat memerlukan guru.Tidak ada piket siang.Jumlah tata usaha hanya satu, itupun masih honorer.Kelas satu yang berjumlah dua kelas sengaja masuk siang karena keterbatasan guru.

Saya pun bangun, cuci muka, ganti pakaian dan mengajar.Pelajaran kesenian dan matematika.Dua duanya saya isi, saya beri tugas.Bergantian masuk kelas. Tiga jam pelajaran saya rasa cukup. Cukup lelah karena pagi mengajar, cukup memberikan semangat pada  anak-anak karena mendapatkan pelajaran.

Sengaja saat itu saya berbaring di rumah penjaga yang hanya ditempat waktu malam hari.Karena ketika istirahat di ruang BP, sering mendapat ketukan pintu anak-anak yang tidak ada gurunya.Waktu itu saya baru saja berbaring setelah makan siang. Saya lihat jam dinding. Pukul 14 .30.Pukul 13 bel pulang untuk siswa yang masuk pagi.Makan siang, sholat dhuhur, istirahat. Belum ada lima menit merebahkan tubuh.

Maklum, anak-anak mengetahui kalau saya tinggal di ruang BP. Tentu saja letaknya berdekatan dengan kelas.Ruang kelas di sebelah timur, turun turun tiga meter ruang guru.Ruang BP berada disebelah barat ruang guru.Di sebelahnya lagi ruang kepala sekolah dan paling barat ruang tata usaha.Antara ruang laboratorium dan ruang tata usaha terdapat ruang tunggu.Di ruang laboratorium inilah kepala sekolah tinggal.
“Inikah pengabdian?” saya bertanya pada diri sendiri.Namun apabila sering begini, saya pun ingin istirahat.Tubuh ini terbatas kemampuannya.Tetapi bagaimana dengan anak-anak?Mereka bersemangat sekolah.Ingin mendapatkan pelajaran.


Pertentangan batin itu terjawab. Ketika Kepala Dinas mengetahui bahwa kami tinggal di sekolah, kami disarankan untuk tidak memanfaatkan gedung sekolah sebagai tempat tidur. Dipinjamkan perumahan sekolah dasar.Kebetulan ada tiga yang kosong.Dua rumah untuk guru, dan satu rumah untuk penjaga.Saya memilih rumah untuk penjaga.Bangunnaya sederhana, tapi lebih luas.

Hidup baru bermula.Keadaan berubah.Sore tak lagi dicari anak-anak untuk mengisi kelas yang kosong.
“Pak, kami tidak ada gurunya.Apakah boleh pulang?” dua anak laki-laki lari tergopoh-gopoh ke rumah saya yang baru.“Saya sudah mengeyuk pintu rumah Bapak Kepala tidak ada. Pak Oka juga tidak ada,”
Kasihan. Jarak rumah saya ke sekolah hamper satu kilo meter. Dengan kepolosannya mereka minta ijin untuk pulang.Akhirnya saya sarankan mereka pulang dengan menutup pintu kelas dan jendela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar