Hari itu hari keua saya mengajar di bum dayak benoaq. Saya ngjar sore hari. Ada dua kelas yang saya ajar. Kelas 7a dan 7b. Setelah saya berkenalan sebagai guru baru dari Jawa, pelajaran pun aya mulai. Memberi cntoh, kemudian memberi tugas pada siswa untuk mengjerjakan.
Salah satu siswa yang bernama Idris minta ijin keluar ke kamar kecil. Namun sudah ada 10 menit belum kembali ke kelas. Kucoba menengok ke luar. Ternyata berbaring di kursi panjang yang berada di teras kelas.
"Tadi katanya pusing Pak," kata teman sebangkunya. Sengaja saya biarkan. Semoga pusingnya bisa hilang untuk tidur.
Bel pulang berbunyi. Anak-anak pulang. Namun Idris tetap telungkup di kursi panjang. Dibangunkan teman-temannya tidak mau. Kucoba mendekati. Aneh. Justru mendengkur. Air lirnya membasahi kursi tempatnya berbaring. Ketika dibalikkan tubuhnya, matanya terbuka, tapi tak tampak bulatan hitam di matanya. hanya putihtanpa kedip. Karena sudah agak gelap, saya sarankan dibawa ke ruang BP tempat saya menginap.
Ruang ukuran 3 x 4 itu terasa makin ssak karena banyak yan mengerumuni idris. rang tuanya dipanggil. "Orang tua" pun di datangkan. Dia dibaringkan di atas tikar yang saya beli kemaren.
"Pak Guru, dipanggi!" kata salah seorang siswa yang masih menunggui Idris.
Saya pun datang. "Sudah mau bicara?" tanyaku setelah melihat dia masih telungkup. Karena sejak tadi tak mau bicara apa- apa.
Tiba-tiba badannya berbalik. Dua angannya telentang. Minta agak dilonggarkan sekelilingnya.Kedua tangannya bergerak ke atas, kemudian ibu jari dan telunjuknya disatukan membentuk lingkaran.
"Kaca mata?" tanya orang tua bersorban puth itu sambil mengusapi wajah idris dengan air putih.
Idris mengangguk.
"Minta kaca mata?" kuberanian diri untuk ikut bertanya. Kulepas kaca mata minus saya. Kuberikan pada orang tua itu. Idris menggeleng.
"Pak guru yang berkacamata?" tanya Orang tua itu. Idris mengangguk.
Semua yang ada di ruangan memandang saya. Ruangan BP yang sempit itu makin kurasakan sempit. Tanpa listrik. Hanya sebuah lampu minyak. Entah bagaimana wajahku saat itu. Seandainya ruangan terang pasti akan tampak ketakutanku.
Saya baru dua hari. Sudah ada kejadian seperti ini.
Idris berbalik telungkup. Tangannya menggerakgerakkan seperti mau menulis. Orang ftua itu pun tanggap. Memintaku kertas dan bolpoin. Dia pun menulis sambil telungkup. Matanya kini terpejam.
"Kenalkan, saya dari rapak Suo," tulisan itu tampak jelas dengan huruf besar semua.
Kesurupan menjadi hal biasa ketika saya mengajar di pedalaman Kalimantan
BalasHapus