Dalam rapat kenaikan kelas itu, terjadi kebuntuan. Ada salah satu siswa yang tidak lancar baca tulis. Aanaknya sangat rajin. Tidak banyak tingkah di sekolah. Dilihat dari kemampuan baca tulisnya terasa aneh jika anak ini lulus ketika di sekolah dasar. Ternyata dari informasi teman guru SD yang pernah mengajarnya, anak ini 3 kali tidak naik kelas. Semanagt belajarnya sangat tinggi. Dia diluluskan dengan harapan tidak melanjutkan lagi karena ketidakmampuannya dalam baca tulis.
Tidak naik, banyak yang takut dengan bapaknya. Terkenal berani dengan siapa saja. Tak segan menantang membunuh jika dia marah. Bapaknya buta huruf . Tetapi hafat nominal uang. Bahkan kaya berkat suksesnya bisnis barang antik.
Kesimpulan rapat, nilai rapor dikosongkan. Siswa diberitahu, silakan belajar baca tulis, Setelah bisa baca tulis, minta bilai berapa akan dituruti dan bisa naik kelas.
Esok hari sekitar jam 11 kekhawatiran itu terbukti. Ada orang tua datang marah-marah sambil membawa parang. Net bola voly yang baru dipakai anak anak bermain dipotong. dicintang sambil berteriak-teriak. Ingin bertemu kepala sekolah. Tidak ada guru yang benari menemui. satu satu guru meninggalkan sekolah. Bahkan kepala sekolah telah pulang lebih awal.
Malam harinya selepas magrib, pintu rumah diketuk. Pak Tajang yang anaknya tidak naik kelas datang dengan berbagaimacam omelan,. Namun nadanya tak semarah ketika di sekolah. Kutenangkan pikiran. Saya harus pelan-pelan memberikan penjelasa. Tak mungkin dia membunuh saya. Saya punya hubungan baik dengan keluarganya.
"Pak, Idris bukan tidak naik. Nilai dikosongkan agar nilainya sesuai dengan kemauan Idris," kataku memebranikan diri.
"Jadi anak saya naik kelas?" pandangan matanya berubah. Nada bicaranya pun berubah.
"Saya merasa terhina Pak Guru. saya ini buta huruf. Jangan mentang-mentang saya buta huruf, anak saya dikatakan bodoh. " dia mulai mengungkapkan perasaanya. Kudengarkan dengan sedikit lega.
"Ya Pak, Idris naik. Tapi tolong suruh belajar membaca dan menulis. Saraynya mudah bukan?"
"Hanya baca tulis?" tanyanya bersemangat. Saya mengangguk.
"Kalau malu belajar ke guru lain, silakan datang ke sini, saya ajari. Mumpung masih libur. Setelah bisa baca tulis, minta nilai berapa, akan ditulis di rapor. Dia naik ke kelas dua." saya menghela nafas lega. Setidaknya Pak tajang menerima penjelasan saya.
Sudah seminggu, tak muncul juga Idris ke rumah untuk belajar baca tulis. Teman - teman guru berharap dia tidak melanjutkan sekolah. Tetapi hubungan baik saya dengan keluarganya membuat saya berharap dia mau belajar. Anaknya baik, pandai bermain bola. Kasihan nantinya jika tidak bisa baca tulis.
Akhirnya Idris tidak mau melanjutkan sekolah. Berita itu cukup menjadi pembicaraan di kampung. Pak Tajang yang terkenal kejam pemberani itu bisa luluh berkat penjelasan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar