KEPOHONAN
Malam itu selepas sholat magrib seperti biasa kami keluar
rumah. Sekedar jalan-jalan mengelilingi kampong yang berbentuk tanjung
.Perkampungan rapat berderet.Jika keliling kampong hanya sekitar satu kilo
meter.
“Mari Pak, silakan diminum!” sapa Pak Gendok dengan ramah.Saya
diajak mampir ke rumah Pak Gendok. Pak Seun teman guru SD akan pergi ke
Samarinda.
Pak Gendok adalah ojek perahu yang setiap subuh pergi ke
Muara Muntai membawa penumpang.Untuk ikut Pak Gendok harus memberi tahu
sebelumnya.Pagi-pagi menjelang subuh dibangunkan ditunggu di bawah.Ditunggu di
bawah berarti ditunggu di tepi danau tempat perahu disandarkan.Ada dua ojek di
sini. Pak Gendok orang kutai, dan Pak Husen
orang Banjar.
Dua ojek ini sangat membantu kelancaran transportasi tanjung
Isuy Muara Muntai.Muara Muntai adalah kampong tepi Mahakam yang cukup ramai.Di
sini merupakan pertemuan 3 kecamatan. Kecamatan Jempang, Kecamatan Muara Kedang
dan Muara Muntai. Jika jalan raya darat, Muara Muntai semacam
terminal.Kapal-kapal sungai Mahakam dari Samarinda selalu berhenti di sini.
Di Tanjung Isuy, khusunya di Kalimantan tidak mengenal mata
angina. Tidak mengenal matahari terbit dari timur tenggelam di barat.Yang
mereka kenal adalah hilir hulu atas bawah.Atas adalah di darat, bawah di
laut.Laut yang dimaksud adalah tepi sungai atau tepi danau.
“Ya Pak, terima kasih,” jawab saya penuh tanda Tanya.Rencana
ingin cepat sampai ke bawah, bertemu teman di dekat danau.Rumahnya memang di
tepi danau.Tapi diberi minuman the yang baru dituang dari termos panas. Tidak
ada piring kecul untuk menuangkan air panas agar cepat dingin.
“Maaf Pak, saya harus segera ke bawah. Telanjur janji,
penting,” dengan terpaksa saya menolak minuman yang dituangkan di gelas. Hampir
setiap rumah menyediakan air the manis di termos air panas. Disiapkan di ruang
tamu yang berbentuk lantai beralas tikar.Jika ada tamu, langsung dituangkannya
the ke gelas.Jarang sekali mereka minum kopi.
“Pak Guru, nyantap dulu, kemponan ndia,” saran Pak gendok serius.
Saya tidak mengerti.Pak Seun menyentuh gelas the yang ada di
hadapan kami.Ujung jarinya disentuhkan, kemudian dijilatkan sedikit ke
lidahnya.
“Ayo nyantap, Kepohonan nanti,” saran Pak Seun.Saya pun
mengikuti. Tak memahami apa maksudnya.
Nyantap adalah mencicipi makanan walau sedikit. Meskipun
setetes air atau sebutir nasi harus dilakukan. Masyarakat yakin jika ditawari
makanan harus menerima. Jika menolak, akan tertimpa bencana. Bencana itu bisa
berupa kecelakaan atau musibah yang lain yang kita tidak bisa menduga. Akhirnya
saya bisa melakukan nyantap agar tidak kepohonan.Jika ditawari makanan dan saya
tidak menerima karena kenyang, saya ambils edikit makanan itu dan mencicipi
untuk saya nikmati.