Hari Minggu, setelah cuci pakaian kami jalan-jalan. mampir ke rumah teman. Ngobrol biasa, tak ada yang istimewa. Maklum hidup di perantauan, di pedalaman. Penenrangan hanya listrik dari iuran tetangga. Nyala mulai jam 6 sore sampai jam 10 malam. Perkampungan hanya sekiotar 700 m. Pemilik kendaraan bermotor tdak ada 20 orang. .
Kami pamit. Keluar rumah, wah kok mendung. Kami bergegas pulang. Membayangkan makan enak. Sayur cempedak yang dimasak kemaren masih ada. Pasti enak makan siang ini, karena ada lauk daging payau (rusa) dari teman tadi.
"Mas, daging rusanya mana?" tanya saya pada Pak Suratno, teman guru yang tinggal serumah.
"Ini semua siap. daging rusa bumbu bali, sayur cempedak, sambal terasi. Pokoknya nikmatlah maknan siang kita kali ini," katanya sambil menyorongkan piring ke arah saya.
Piring langsung saya isi nasi. aroma daging rusa dan sambal terasi membangkitkan liur untuk segera makan.
"Mana lo Mas dagingnya?" tanyaku sambil mencari-cari di meja makan. Pak Rano sudah lahap menyantap.
"Ini lo," Pak Ratno menyorongkan daging rusa ke arahku.
Aku berdiri ke belakang cuci muka
"Tumben mau makan cuci muka," komentar Pak Ratno melihatku tak seperti biasanya.
"Ya, kok agak kabur kenapa ya?"
"Waktunya ganti kaca mata?" jawab Pak Ratno santai
"Wah mungkin juga,"
"Mas sayur cempedaknya mana? Daging rusanya mana? Kok aneh ya. Saya tidak bisa membedakan mana daging mana cempedak?" tanyaku penuh keheranan.
Pak Ratno menghentikan makannya. Memandangi saya heran.
Mungkinkah akibat kurang tidur? Malamnya, sehabis solat
isya’ saya segera memejamkan mata. Pagi-pagi sudah bangun. Segera pergi ke
sumur untuk mandi. Keramas. Kepala saya guyur air lebih banyak dari biasanya.
Mudah-mudahan aliran darah kebih lancer. Jika ada ketegangan syraf bisa
berkurang.
Sehabis solat subuh, segera membuka sisa sayur kemaren.
Tetap. Tak bisa membedakan mana sayur cempedan dan yang mana daging rusa.Astaghfirulah. Ada
apa ini?
Hari itu sengaja tidak mengajar. Saya coba untuk baring dan
banyak memejamkan mata. Tapi tetap saja. Melihat keluar rumah seperti tetap
mendung.
Hari ketiga saya bengkat ke sekolah. Wah papan data guru
yang tulisannya besar-besar hanya bisa membaca judulnya.
“Coba buka pelajaran 6,” perintahku pada Darin ketua kelas
3B.
“Ya Pak, sudah, jawab Darin
“Coba bacakan apa judulnya!” kataku lagi karena aku tak bisa
membaca. Akhirnya tugas kuberikan atas bantuan Darin membacakan tulisan di buku
seperti yang saya keehndaki
Pikiran makin berkecamuk. Mungkinkah perubahan kaca mata
sedrastis ini? Semula kaca mata saya hanya minus 0,75,Tidak tebal kan? Saya
harus ke Rumah Sakit Samarinda. Saya harus periksa. Jika terpaksa tidak ada perubahan saya harus
siap mental dengan kemungkinan terburuk. Pikiran makin tidak menentu
“Cobalah jangan
berangkat ke Samarinda dulu, Berobat dulu di sini. Siapa tahu penyakit
kalimanta” saran Bu Isah ibu angkat saya dengan santai.
“Tapi saya memang pakai kaca mata minus Bu, mungkin waktunya
ganti kaca mata,” sanggahku.
“Ia, tapi coba saja dulu. Apa salahnya, kalau gak sembuh
baru ke Samarinda. Siapa tahu penyakit kalimantan kan cukup di sini,” Ibu
angkatku menjelaskan setengah memaksa.
“Penyakit kalimantan? Apa Bu maksudnya?”
“Kalau mau, besok sehabis magrib ke sini, saya antarn lanjut
Bu isah penuh semangat.
“Penyakit kalimantan?”, kata –kata itu membuat pertanyaan
besar di pikiran saya. Apa ini? Penyakit apa? Tak kutemukan maksudnya. Ibu
angkatku tak mau menjelaskan. Tapi tampaknya serius tentang penyalit itu.
“Pak guru kena “ panah matahari” kata Mamak Bustam dengan
logat bahasa Banjar yang kental.
“Tidak perlu mencari siapa yang yang mengirim, yang penting
saya bantu menyembuhkan.” Mamak Bustam memberi motifasi.
Saya diberi air putih agar digunakan untuk berwudhu di
rumah. Besok sehabis magrib disuruh kembali lagi.
Alhamdulilah, pagi ada perubahan. Saya masuk ngajar, bisa melihat tulisan yang
agak besar di papan data. Tapi untuk membaca
buku masih belum mampu.
Saran mamak Bustan saya lakukan. Tiga hari saya terapi air wudhu darinya. Alhamdulilah.
Pelan tapi nyata. Saya bisa melihat seperti semula.
Inikah “penyakit Kalimantan?”
PENYAKIT KALIMAN TAN 2 (herpes)
“Ini penyakit kalimantan Pak Guru,” kata perawat PuskesmasTanjung Isuy yang asli Kalimantan sambil tersenyum . Perawat kok bilang “penyakit kalimantan”? Dia orang medis?
Tiga hari yang lalu sudah periksa ke Puskesmas, diberi obat. Tetapi tidak ada reaksi sama sekali. Setahu saya penyakit seperti ini “kena jlanthir” atau sekarang dibilang “kena virus tomcat”, kalau kena virus itu rasanya panas, badan bisa meriang. Tapi anehnya, herpes yang ini tidak tersa sakit, tapi makin menjalar keman mana.
Mengikuti saran Pak Gozali perawat yang asli Kalimantan, saya pergi ke “orang tua” yang tinggal di dekat pelabuhan. Saya hanya diberi air putih untuk diminum, dan minyak kayu putih yang entah sudah dicampurr apa. Alhamdulilah, paginya “penyakit kalimantan” itu mongering.
PENYAKIT KALIMANTAN 3 (alergi)
“Saya alergi, sudah dua hari minum obat dari Puskesmas tidak ada perubahan,” kataku ketika periksa lagi ke Puskesmas. Saya heran makanan apa yang mebuat saya alergi.
“Kalau diminumi obat tidak ada perubahan, berarti “penyakit Kalimantan Pak Guru,” jawan Bu Mardiana datar. Dia hanya tersenyum melihat saya tak mengerti. Saya diberi “resp” agar dating rumah kepala adat untuk minta obat.
Dari rumah kepala adat saya diberi bungkusan kertas yang berisi dedaunan kering yang sudah dicincang seperti tembakau. Sesuai saran yang dianjurkan? Daun kering itu saya bakar, dan asapnya dirahakan ke tubuh saya. Tiga puluh menit kemudian rasa gatal alergi itu berangsur hilang. Bahkan bisul-bisul dalam tubuh yang masih terbungkus pakaian juga hilang.
“penyakit kalimantan”