Selasa, 05 April 2016

PANAH TERONG



Sepak bola merupakan olah raga paling digemari masyarakat pedalaman hulu mahakam. Hampir tiap kampung memiliki lapangan sepak bola, walaupun kondisi permukaan tanah tidak rata.

Pertandingan antar kampung pun menjadi hal yang digemari. Selain jarang hiburan, kegiatan ini untuk keakraban anar remaja. Demikian pula pertandingan persahabatan antar sekolah antar kecamatan.

Waktu itiu, kami mengunjungi Kecamatan Muara Kedang, yang berjarak 3 jam naik perahu menyusuri sungai dan menyeberangi Danau Jempang. Untuk beaya ke sana, anak- anak rela untuk iuran termasuk membawa bekal untuk makan selama berada di sana karena harus menginap

Kami datang tidak terbiasa menjadi tanggung jawab tuan rumah. Tapi masak sednirid engan beras dan lauk seadanya. Cewek2 bagian memasak, sambil menyuport teman cowok nya yang bermain bola.

Lapangan yang ditumbuhi ilalan tampak baru dibersihkan. Anak anak mulai bermain.
"Pak, Arli "kram", tiba-tiba ada dua anak membopong pemain bola yang kelas 2 SMP muridku. Dicarinya tempat yang agk teduh.
"Buka sepatunya," pintaku sambil mengambil minyak gosok yang sudah kusiapkan dari rumah.
Kakinya kurut semampu ku. Dia tetap meingis menahan sakit. Tak ada perubahan.
"Dimana ada perawat?" tanyaku pada mereka sedikit panik. Selama di Jawa tidak pernah berhadapan dengan masalah sepertti ini. Apalagi merawat anak-anak yang terkilir berolahraga.

"Sudah ada yang nyari "orang pintar" Pak, sebentar lagi datang." jawabnya tanpa mengindahkan pertanyaanku.
Kram olah raga, dicari orang pintar? Aku semakin tidak mengerti.
"Kuang ajar juga ya, mereka kasih panah terong," gumam Arli sambil menahan sakit. Kulihat jari jempol kakinya tidak bisa duluruskan walau sudah kuminyaki dan dipijit sendiri.

"Panah terong?" aku bengong
"Ya Pak, daerah sini terkenal dengan majiknya, Kalau main bola, mersa kalah, dia kasih panah terong di rerumputan. Ni Buktinya saya, jari jempol kakai gak bisa diluruskan,"
Aku diam. Hanya memandang wajah mereka
"Sudah biasa Pak, Nanti kalau sepak bola usai sembuh sendiri. Biasanya yang kena pemain yang dianggap pandai."
Ah..... Panah ternyata bukan panah yang pakai busur. Tapi istilah halus untuk majik.




PERJALANAN BALIKPAPAN SAMARINDA

“Stopir”…. Pinta penumpang jika ingin turun dari bus. Setelah kusimak beberapa kali, ternyata bukan “soppir”, tetapi “stoped”. Wow keren juga. Pakai bahasa Inggris. Di Jawa Timur biasanya terdengar “kiri-kiri” untuk permintaan penumpang yang akan berhenti. Ternyata banyak kosa kata bahasa Inggris yang digunkan sehari-hari. “ Boleh minta “natces”nya?” kata kenek bus pada salah satu penumpang sambil memasukkan sebatang rokok ke bibirnya. Penumpang yang ditanya pun langsung merogoh saku dan mengeluarkan korek api.

“Kilo tujuh kilo tujuh” teriak kenek mengingatkan penumang bahwa perjalanan sudah sampai di kilo 7. Kata-kata yang jarang kudengar. Di kaltim, bukan nama kampong sebagai tempat pemberhendtian, tetapi jarak tempuh yang menjadi informasi pada penumpang. Untuk tempat-tempat yang popiler, penduduk lebih sering menyebut kilo berapa. Misalnya “kilo 10” untuk  tempat yang terkenal dengan tujuan lelaki hidung belang.

“Stoped.!” Kata salah satu penumpang yang ingin turun. “Tolong bantu turunkan “bag” saya!”
Sang kenek bus pun membantu menurunkan koper penumpang tersebut. Saya hanya diam. Manggut-manggut sambil belajar membaca keadaan.

Bus tidak segera berjalan. Gas dibunyikan berkali-kali oleh sopir. Tetapi tetap saja. Ngadat. Sopir dan kenek turun. Memeriksa mesin. Entah apa yang bermasalah. Setelah sekitar 10 menit, sopir naik
“Saya “terai” gasnya dulu. Dengarkan bunyinya!” teriak sopir dari atas.

Saya tak paham mesin. Justru yang menarik perhatian saya adalah kata-kata yang diucapkan. “Saya “terai”? Baru kuphami sepetah gas berbunyi. Dan mesin bisa normal kembali. Bukankah itu dari bahasa Inggris “to try” yang artinya dicoba? Wahhh. Aku tersenyum sendiri.

Di sepanjang perjalanan masih banyak hutan belantara. Jarang perkampungan. Jalan raya pun tidak mulus. Tanah berwarna merah kecoklatan. Baru kali ini melewati hutan lebat yang bertanah merah kecoklatan. Jarang sekali terdengar bahasa jawa seperti hari-hariku sebelumnya. Kalau pun terdengar hanya bahasa Indonesia dengan dialek Jawa.

PERTAMA KALI NAIK PESAWAT

NAIK PESAWAT

Inilah pertama kali saya akan naik peswat terbang. Dalam kepasrahanku pada Allah, rasanya seperti berangkat perang. Siap mati di medan laga. Kupasrahkan semuanya diri ini pada Ilahi.
Sampai di tempat duduk, kuperhatikan kiri kanan. Tidak ada penumpang yang istimewa. Pakaian mereka biasa saja. Bahkan ada yang hanay pakai kaos olah raga. Berarti mereka telah terbiasa naik pesawat. 

Tidak seperti bayanganku sebelumnya. Di pesawat adalah orang-orang berduit. Para pejabat.
Sengaja kupilih transportasi pesawat udara, dengan pertimbangan kemanan, tidak mabuk laut. Karena uang  saku dari pemerintah waktu itu Rp285.000,00. Tiket pesawat cukup Rp 84.000

Ya Allah begini rasanya naik pesawat. Ketika peswat menukik ke atas, telinga rasanya mendenging dan sakit. Mau gupegang telinga seperti kalau baru dengar suara petasan, ada rasa malu. Terpaksa kubiarkan saja sambil menahan rasa sakit. Lama-lama rasa itu hilang juga.

Menjelang bumi Kalimantan, tampak dari atas tanah berwarna coklat kemerahan. “inikah bumi Kalimantan? Warna tanhanya jauh berbeda dengan bumi Jawa bagian Tulungagung. Bagaimana warna airnya?”


Menjelang turun dari pesawat, kulihat alamat yang kutuju. Bapak Suwandi, Kepala SMA Penajam. Alamat Rumah jalan Kampung Gunung Samarinda, Gang.. Nomor..
Setelah naik taksi, sampailah saya ke tujuan. Ada seorang ibu yang menemui saya. Sama-sama bingung, karena belum kenal, dan suaminya tidak pesan apa-apa. Saya sampaikan kalau saya sudah kirim surat seminggu sebelumnya bahwa saya akan mampir ke sini.

Perkenalanku dengan tuan rumah bermula ketika saya legalisir ijasah Diploma 1 di Kampus Kentintang IKIP Surabaya. Di kampus, saya diperkemalkan dengan alumni IKIP Surabaya yang kebetulan dinas di Balikpapan. Dari perkenalan itu akhirnya saya memutuskan utnuk menjadikan alamat P Suwandi sebagai tujuan pertama menuju bumi Kalimantan.
Tidak ada bayangan sama sekalai. Akan menuju Kalimantan, tidak punya kenalan siapa pun, hanya berbekal alamat orang yang baru kukenal 5 menit.

Terdengar pintu kamar diketuk. “Mas, gak mandi, sudah sore!”  suara lelaki yang agak kukenal. Mudah-mudahan P Suwandi. Ternyata benar. Jam di tangan saya menunjuk angka 16.20 wib.
Pak Wandi cerita kalau ngajar sampai jam 4 sore. Kulihat jam dinding menununjukkan angka berbeda. Lebih cepat 1 jam. Baru kusadari, saya berada di Indonesia bagian tengah.
Di tangan P Wandi ada surat dari pos, dengan amplop “KILAT”. “Ini, surat yang Mas Budi kirim baru nyampek. Surat kilat dari Tulungagung Jawa Timur baru sampai ke Balikpapan Kaltim selama seminggu. Kalau tidak kilat berapa hari?

Pak Wandi bercerita oanjang lebar tentang menjadi guru di bumi Kalimantan. Saya disarankan untuk berangkat besok pagi. Diberi saran rute perjalanan dan angkutan yang bisa mengantar saya ke Kanwil Depdikbud Samarinda.

Pergi kamar mandi, ternyata berada di lantai bawah. Lantai atas, ruang tamu ruang tidur berhadapan dengan jalan raya. Dapur, kamar mandi dan gudang berada di bawah. Ada bak penampungan air cukup besar. Ternyata bak penampungan air hujan. Air pam ada, tetapi cukup mahal. Sehingga warga sekitar berhemat dengan memanfaatkan air hujan untuk cuci mandi.

Ada rasa aneh mandi air hujan. Kurang segar. Anehnya lagi, 5 menit setelah mandi, kulit saya gatal gatal, dan bisulan. Berarti alergi. Wah bingung juga. Besok paginya, saya mandi di sumber air, 50 meter turun ke bawah. Airnya berwarna kecoklatan, persis air hujan yang baru turun di halaman rumah. Tapi banyak penduduk yang mandi di situ.

Sambil memejamkan mata, kuguyur juga tubuh ini.  Balikpapan yang terkenal itu ternyata seperti ini. Tapi lebih segar dibanding mandi air hujan. Inikah bumiku yang baru nantinya?
Pagi itu saya sarapan pisang goreng dan teh hangat. “Yuk dimakan, Cuma ada “sanggar pisang”. Kata Bu Wandi. Sangar? Aku tersenyum. Pak Wandi menjelaskan, kalau pisang goring namanya sanggar pisang. Itu bahasa Banjar. Di Kalimantan Timur, bahasa banjar lebih dominan.
Kunikmati juga pisang goring hangat. Pisang kapok. Di sini menjadi pisang favorit untuk sarapan pagi. Di warung-warung kaki 5, selalau ada pisang goring. Disajikan dengan sedkit gula puitih. Jarang yang minum kopi. Teh panas  dan pisang gorang.

Teh yang saya minum rasanya sangat berbeda dengan yang kuminum hari-hari di rumah. Rasanya agak tajam. Tak ada wangi khas melati seperti teh yng kuminum di rumah. Bentuknya pun bukan daun, tetapi seperti serbuk gergaji.

Diantar P Wandi di depan gang, saya dicarikan angkutan menuju terminal. Ada bus bus kecil yang siap di sana. Sepi. Itulah kesan yang muncul.


DILOMPATI IBU DI TENGAH PINTU


BERANGKAT KE KALIMANTAN

Ketika panggilan untuk berangkat, saya memilih naik pesawat. Dengan pertimbanga cepat dan keamanan. Uang saku 365 ribu rupiah dari pemerintah, saya belikan tiket pesawat merpati 64 ribu. Seragam PSH, dan beberapa Menjelang saya berangkat, ada beberapa peralatan yang dipersiapkan. Jarik (kain panjang batik yang dipakai ibu-ibu suku Jawa), potongan ujung stagen ( ikat pinggang wanita jawa, yang dililitkan kira2 sepanjang 2 m), segenggam tanah dari rumah. Ketiga benda itu diikat dijadikan satu untuk dibawa pergi.
“Jika kamu sakit atau kangen pada ibu, ambil kain itu, pakailah untuk selimut,” pesan ibu sambil mengusap air matanya.”

Dalam adat Jawa ada nasehat dan perlambang dari benda-benda yang saya bawa untuk pergi ke tempat yang baru. Segenggam tanah adalah perlambang bumi kelahiran, menyatunya jiwa dengan bumi tempat lahir. Harus dibawa agar bisa adaptasi di sana, karena di bumi yang baru tidak jauh berbeda dengan bumi yang lama. Potongan ujung ikat pinggang (stagen) adalah menyatunya hati dengan orang tua. Ikatan batin dari ibu yang melahirkan agar tetap erat, karena doa ibu pada anaknya sangatlah dekat dan segera sampai ke hati, dalam arti makin dekat pada Pencipta.

Sebelum berangkat, saya sungkem pada semua keluarga. Pagi-pagi adikku yang bungsu sudah menangis sambil menjabat tanganku, karena harus berangkat sekolah di SMP kelas dua. Kakakku yang biasanya berada di Pucanglaban Tulungagung selatan,  (30 km dari rumah) berada di rumah sejak kemaren.

Semula saya ingin berangkat sendiri ke Surabaya untuk menuju Juanda. Kakak pun sependapat dengan saya. Daripada ngantar ke Surabaya, lebih baik untuk tambah uang saku. Tapi orang tua menentang keras. Saya harus diantar. Padahal saya berani  berangkat sendirian. Tapi demi menjaga perasaan orang tua, saya pun diantar kakak.

Semua sudah kujabat tangannya, kucium pipinya dengan linangan air mata, hanya ibu yang belum. Giliran akan berjabat tangan pada ibu, sudah ada tikar yang dibuka ditengah pintu rumah. Saya diminta berbaring telentang. Ibu pun melangkahi tubuh saya sebanyak tiga  kali dengan doa- doa yang tak pernah lepas dari bibir dan hatinya. Bundaku ibuku, penyemangatku.

Di perjalanan  menuju Surabaya, banyak nasehat yang diberikan oleh kakak. “Di rantau harus pandai mencari teman, rajin mencari saudara, jangan sombong. Pegawai adalah panutan, jangan sembarangan, jangan pelit,” itulah nasehat yang sampai sekarang saya ingat. Dan itulah kenangan terahir saya dengan kakak, karena bulan ke lima saya di Kalimantan, kakak meninggal terkena sakit hepatitis B.