Senin, 28 Maret 2016

JARANG NYAPU HALAMAN

JARANG NYAPU HALAMAN


“Wah rajin benar Pak Guru,” sapa mereka ketika pagi-pagi saya menyapu halaman.

Suku Dayak Benoaq terbiasa bangun pagi meskipun mereka tidak memiliki kewajiab sholat subuh. Sebagain besar penganut Kaharingan. G enerasi muda mulai memeluk agama . Mayoritas katolik dan sedikit protestan.
Mengapa harus bangun pagi? Jarak ladang tempat mereka bercocok tnam cukup jauh. Paling dekat 30 menit berjalan kaki. Tidak mengenal kilometer, karena lingkungan mereka adalah hutan.


Saya pikir itu sapaan sambil lalu saja sebagai bentuk keakraban. Ternyata tidak. Mereka jarang memebrsihkan halaman, karena ketika hujan turun, halaman akan bersih tersapu air.

 Maklum bentuk tanah merupakan bukit-buki, Jarang sekali tanah datar, sehingga jika hujan turun, sampah langsung hilang. Selain itu, curah hujan di hulu Mahakam tergolong tinggi, sehingga hutan di sana dinamakan hutan hujan tropis. Walaupun kemarau masih ada hujan.

MINUM AIR HUTAN GAMBUT

HUTAN HUJAN TROPIS

Penduduk di Jawa sering mendengar hutan hujan tropis. Di buku pelajaran anak-anak sekolah juga disebut “hutan gambut” Anak – anak hanya tau tulisan dan foto, tetapi secara rinci jarang yang menjelaskan


Hutan gambut,
Tanah terbentuk dari tumpukan dedaunan yang tertumpuk selama beratus ratus tahun. Jika diinjak, pelan pelan permukaan akan turun, ambles bisa mencapai 50 cm, dan air akan keluar. Jadi hutan tersebut mengandung banyak air.

Jika dalam perjalanan kehabisan air minum tidak perlu bingung. Cukup cari batang tumbuhan khusu, dipotong, akan keluar air alami yang cukup segar


Bisa juga mencari sungai yang agak masuk ke dalam hutan, cukup dibuka permukaan air dengan tangan dan kita ambil siap minum. Air bewawarna agak coklat tetapi jernih. Warna tersebut berasal dari tumpukan dedaunan dan akar kayu hutan yang telah bertaun tahun menumpuk di dasar hutan.

PANGGILAN bertamu

PANGGILAN bertamu

 “uuuuiiiii…. uuuiiiii… uuuuiiiii”

Pertama kali mendengar teriakan murid saya yang datang ke rumah, saya terkejut. Sangat tidak hormat.......
Ternyata itu adat mereka.  Itulah suara Suku dayak Benoaq jika akan bertamu ke rumah tetangganya. Mungkin panggilan itu dilakukan karena keitika masih di hutan, jarak tetangga jauh, lagi pula rumah mereka berpentuk panggung, tinggi 3 sampai 5 meter. Sehingga untuk memanggil tuan rumah, harus berteriak dari bawah tangga agar tuan rumah mendengar bahwa ada tamu.

 Aanak-anak jarang sekali memanggil nama orang tua mereka. Mereka merasa malu jika disebut nama orang tuanya.

PANGGILAN ibu-ibu

PANGGILAN ibu-ibu

Penduduk di Jawa biasa memanggil ibu-ibu dengan sebutan nama suaminya. Misalnya jika istri dari Bapak Amrun, akan dipanggil Bu Amrun.

Namun berbeda dengan kebiasaan di hulu Mahakam . Panggilan ibu-ibu diambil dari nama anak pertama. Jika nama anak pertama Wawat akan dipanggil Mamak Wawat. Demikian pula jika anak pertama bernama Aloy, akan diapnggil Mamak Aloy.

Panggilan untuk bapak bapak juga ada ciri khas. Jika ada guru lewat di depan rumah, mereka dengan ramah memanggil “Singgah Guru!”.

Yang mulai berbeda adalah anak anak sekolah, jika bertemu guru tetap memanggil sebutan “Pak Guru atau Bu Guru


Berbeda jika bertemu dengan Polisi atau PNS lain. Sapaan itu akan terdengar “Kemana Om.” 

Minggu, 27 Maret 2016

MURIDKU TIDAK MENGERTI "ALUR" DALAM CERITA

MURIDKU TIDAK MENGERTI "ALUR" DALAM CERITA

 Bagaimana ya? Padahal sudah kelas 8

Anak - anak saya beri tugas untuk membersihkan kaca di kantor dengan pembagian tugas yang merata. Peralatan sulak dan lap sudah disiapkan. Setiap anak mendapatkan tugas di tempat yang berbeda. Waktu 20 menit, setelah itu kembali ke kelas.

 Sebelum keluar kelas, siswa diperingatkan bahwa setelah kegiatan tersebut harus menulis 10 kalimat berupa urutan peristiwa, mulai dari keluar kelas, saat membersihkan kaca, sampai kembali ke kelas. Alhamdulilah ternyata mereka bisa mengerti "alur" dengan cara ini.

 Barulah saya beri tugas untuk menulis alur dari cerpen yang ada di buku pelajaran.

kepolosan mereka

SENJA DI SENDANG

 SENYUM GADIS SENDANG

 Jam sudah di angka 16.50. Saya ingat, belum solat asyar. Dari situs Mbah Bodho terdengar suara tadarus khas kampung. Suaranya datar, terbaca pelan namun nyaman disimak. Alamaih banget. Kami bertanya pada anak kecil yang kebetulan berpapasan.
 "Mushola dimana dik?" dia menggeleng tanpa ekspresi.
 "Suara ngaji tu di sebelah mana?" tanyaku lagi,
 "O, itu situ lo, "
wajahnya berubah ceria sambil menunjukkan menara yang tampak tua dari jarak 150 m.

Alhamdulilah, dekat, gumamku. Sebab biasanya, kata "situ" untuk masyarakat pegunungan bisa satu kilometer, atau bahkan lebih.

Tampak mushola kecil di sut jalan. Terdapat papan kecil bertulis "LANGGAR". Dimas tersenyum sambil menunjuk tulisan itu. Saya pun tanggap, rupanya anak kecil tadi nggak n

gerti kata mushola, karena di kampung berpenduduk Jawa, biasa disebut langgar.

"Assalaamualaikum,, sapaku pada 3 gadis kecil yang asyik bermain di teras mushola.

"Waalaikum salam, wr wb," jawabnya serentak, dan spontan mereka berhenti bermain. Sementara seorang temannya sedang membaca Al Quran di dalam.

 "Mau nunut sholat Asyar Dik," sapaku langsung menuju tempat wudhu.

Terasa udara sejuk di kamar mandi. Bersih walau kecil. Air jernih. Terasa dingin. Air dipancarkan entah dari mana, yang jelas tak tampak sumur, Tapi sangat lancar air mengalir.

 Ketika masuk ke mushola, anak-anak itu tersenyum, dan menyapaku lagi

"Monggo Pak!" sambil meninggalkan sajadah yang tertata rapi. Aku tersenyum.

"Alhamdulilah, Masya Allah, kepolosan mereka membuatku tertegun. jarang kutemukan anak anak di mushola mempersiapkan sajadah ketika ada orang asing akan menunaikan sholat. di Dusun Gondang, Kecamatan Sendang. Kutemukan mutiara terpendam.

TERLAMBAT

TERLAMBAT

 Kemaren, sengaja nunggu anak-anak di pintu depan. Bel masuk telah berbunyi. Kujabat tangan anak-anak yang baru masuk. Sambil mengucapkan selamat pagi atau assalaamualaikum, mereka menjabat tanganku sambil mencium tanganku yang sengaja tiap mau berangkat kukasih parfum. Kasihan kan kalau tangan gurunya dicium gak bau harum?

 Lewat 10 menit,
 Masih ada siswa yang terlambat. Sengaja langkah mereka kuhentikan

 "Sekarang pukul tujuh, lebih berapa menit?" tanyaku pada beberapa anak yang baru memasuki pintu gerbang sekolah. Ada diantara mereka yang tiba-tiba berhenti karena membenahi bajunya yang belum rapi karena tidak dimasukkan. Ada pula yang begitu santainya masuk meskipun terlambat.

Kutunjukan jam tanganku. "Lebih 10 menit bukan? Kalian terlambat?"

 "Mencabuti rumput atau mebersihkan kaca jendela Pak?" tanya salah seorang anak yang biasa terlamabat dan sering dihukum untuk bersih-bersih lingkungan kelas karena keterlambatannya.

"Nggak usah, ayo iku Pak Budi ke depan kantor!" pintaku kepada mereka. Sebelumnya kuhitung jumlah siswa yang terlambat. Wow ada 22 siswa. Keterlaluan anak-anak ini.

Ada apa sebenarnya dengan mereka? Setelah mereka duduk di lantai teras ruang guru, kubagikan selembar kertas kepada tiap-tiap siswa.

"Tulis nama dan kelas masing-masing. Setelah itu, tulislah mengapa kamu terlambat, apa yang kamu lakukan agar tidak terlambat, serta sanksi apa yang kamu inginkan jika kamu terlambat lagi."
Anak-anak diam, memandangi wajah saya. Mungkin ada yang kurang paham tugas yang saya berikan.

"Jumlah karangan 6 paragraf, setiap paragraf minimal 10 kalimat," sengaja kuperjelas tentang jumlah paragraf dan jumlah kalimat agar mereka menulis dalam jumlah banyak kalimat. Jika tidak diberi batas minimal, mereka hanya menulis beberapa kalimat. Jika diberikan jumlah minimal, siswa akan dipaksa untuk menulis, sekali gus berlath menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.

Lima menit berlalu. Kulihat sambil berkeliling. Tulisan anak-anak yang mendapat hukuman karena terlambat.
 "Lho, bukan itu maksudnya, tetapi bercerita, ceritakan mengapa kamu terlambat?" kudekati siswa yang menulis "saya terlambat karena "mbangkong"(terlambat bangun)". kalimat itu ditulis sebanyak 6 kali.

Aku pun tersenyum melihat tulisan itu. Mungkin ada bapak atau ibu guru yang pernah memberikan hukuman seperti itu. Agar siswa berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya lagi, ditulis sekian kali.

 Hukuman yang kulakukan kali ini berharap bisa mengetahui permasalahan anak, mengetahui penyebab terlambat. Selain itu juga melatih siswa untuk menulis dalam rangka "Gerakan Literasi" yang dimotivatori oleh Bapak @Satria Darma serta Bapak @Muhsin Kalida.

Bel jam kedua berbunyi. Tak sampai hati juga memaksa mereka agar menulis sejumlah yang saya tentukan. Hanya ada 4 siswa yang menyelesaikan tugas, dari 22 siswa yang mendapat tugas menulis.

Bagi siswa yang terbiasa menulis, jumlah 60 kalimat adalah hal yang sepele dan mudah dilakukan. Tetapi, bagi mereka yang tidak terbiasa menulis, itu pekerjaan yang berat. Ada siswa yang hanya mampu menulis 4 kalimat, hanya menjawab pertanyaan bimibingan saya ajukan.


 Namun rata-rata mereka hanya mampu menulis 15 kalimat. Kalau pun ada yang menulis agak banyak, kalimat mereka diulang-ulang. Tak masalah, ini proses, mereka perlu berlatih, mereka perlu bimbingan.

"Hari ini saya terlambat karena "mbangkong". tadi malam tidur jam setengah sebelas. Kalau kemaren saya terlambat karena ban sepeda saya bocor. Terpaksa harus jalan agak lama. Sudah capek, sampai di sekolah terlambat. E,,, dihukum. Tapi banyak temannya kok. Bukan saya sendiri yang terlambat."
penggalan tulisan Dias yang dikenal oleh bapak ibu guru sering membolos.

 Agus hanya menulis 12 kalimat, "Saya terlambat karena "mbangkong". Tadi malam bermain PS sama teman-teman. Belum lagi saya harus menghampiri teman saya yang ikut boncengan sepeda tiap hari dengan saya."

 Lukas, hanya menuliskan 10 kalimat, tetapi kalimatnya runtut. "mohon dimaklumi saja, hari ini saya terlambat karena harus menunggu beberapa saat untuk mandi. Pompa air rusak. Padahal saya bangun pukul 05.30 lo."

 Tulisan Hafiz seperti puisi, mungkin agar segera keliahatn penuh. Namun ada kalimat penutup yang membuat saya tersenyum. "Karena saya disuruh ngantar ayah kerja. Namun saya janji, tidak akan terlambat lagi. Ayah akan saya antar kerja agak pagi biar saya tidak terlambat. Pak saya kehabisan kata kata Pak. Jadi malu"

 "Tadi malam saya asik nonton TV, ada film bagus, sampai jam 12.oo. Eh baru ingat ada tugas seni budaya belum saya kerjakan. Kukerjakan juga sampai jam 1.. Paginya, saya terlambat."

 Ada yang pandai menuangkan ide dengan kepolosannya, tapi menjadikan kalimatnya enak dibaca. "Saya kehabisan kata-kata Pak untuk membuat karangan, mohon dimaklumi. Hari ini saya belum makan, membuat badan sayaa lemas.Saya pun kehabisan akal untuk menulis apalagi."

SAYA TIDAK MINTA UANG

SAYA TIDAK MINTA UANG

 Suara itu mengejutkanku yang sedang asyik bermain hp menjawab sms yang tertunda. Tanpa permisi, tanpa mengetuk pintu yang memang terbuka, seorang siswa kelas tujuh masuk ruangan saya. Nada bicaranya yang kental dengan logat Batak itu membuat saya mudah menghafal namanya. Carlos.

“Sebentar, duduk dulu, nggak usah tergesa-gesa,” pintaku sambil menyilakan dia duduk. Pandangannya tetap tertuju pada saya. Bajunya tampak baru dimasukkan. Baju bagian pinggang masih ada yang terselip belum dimasukkan. Celananya tak nyaman dipandang. Tak ada ikat pinggang yang melekat di pinggangnya.

 “Kenapa?” kucoba untuk tersenyum. Dia merasa agak bersalah dengan pandangan saya

“Saya harus bayar sepuluh ribu Pak, untuk makan lima ribu, dan untuk kado lima ribu rupiah Pak,” wajahnya tampak serius.

“Sepuluh ribu kan? Sudah minta pada orang tua?” pertanyaanku agak tidak percaya. Uang sepuluh ribu, untuk kegiatan keagaam memilih untuk tidak ikut. Hanya dua mangkok bakso bukan? “
"Orang tua saya jauh Pak!”
Orang tuamu masih ada?” aku makin penasaran ingin tahu tentang anak Medan ini.
“Masih Pak, di Medan”
“Nggak pernah kirim uang untukmu?”
 “Orang tua saya tidak mampu Pak, makanya saya dititipkan di panti asuhan, dibiayai panti asuhan”

“Yang membiayai kamu siapa?”
“Panti Pak,” dia menyebut panti asuhan dengan kata panti.

 Dia tinggal di salah satu panti asuhan gereja protestan di Ngunut. Saya sering melihat dia dibonceng temannya naik sepeda pancal ketika pergi ke sekolah. Kadang juga hanya berjalan kaki.

“Bagaimana Pak, saya diijinkan untuk tidak ikut Natalan bersama Pak? Saya tidak punya uang Pak”


Saya diam. Wajahnya. Tak tampak wajah kebohongan. Pandangan matanya redup memohon jawaban dariku.

“Ini, silakan ikut.” Kubuka dompet tipisku, dan kusodorkan uang kepadanya. Wajahnya tampak terkejut. Kuulangi lagi perkataanku. ”Silakan ikut!”

“Pak saya hanya minta ijin, bukan minta uang,” wajahnya tampak memerah, matanya mulai berkaca-kaca.

 “Kamu harus ikut, itu kegiatan keagamaan. Sama halnya jika teman-temanmu muslim memperingati hari besar Islam. Jika kamu tidak ikut, nilai pelajaran agamamu akan berkurang,” kucoba memberi pengertian tentang pentingnya kegiatan tersebut. Di sekolahku, jumlah siswa 124, dan hanya 7 orang nonmuslim.
 “Tapi Pak. Saya sudah minta ijin pada bapak guru agama. Katanya, disuruh minta ijin Bapak. Kalau Bapak mengijinkan, saya boleh tidak mengikuti kegiatan tersebut.”

 “Sudahlah,kamu mau ikut bukan? Silakan ikut. Berkumpul bersama teman-temanmu dari sekolah lain, agar bertambah wawasan. Makan-makan juga kan?” sengaja kutersenyum agar dia bersemangat untuk mengikuti. Agar dia melupakan sedikit masalah keuangan yang dialaminya.

Akhirnya dia berdiri. Uang yang kuberikan diterima. Segera dimasukkan saku. Ada titik air di sudut matanya. Digenggamnya tangan saya erat – erat sambil mengucapkan terimakasih.
 “Terima kasih Pak. Terimakasih.”

Kupandangi dia sampai hilang dari balik pintu. Kuambil nafas dalam-dalam. Membayangkan perasaan Carlos, Membayangkan gejolak pikirannya. Membayangkan lebih ceria dari sebelumnya.

Mereka Perlu Sentuhan



“Yang saya cari ada nggak ya?” tanyaku setelah memasuki ruang 7a. Di depan ada teman guru yang sedang menulis di papan tulis. Ibu guru tanggap siapa yang saya cari.

“Ada Pak’” jawab anak-anak serentak sambil menoleh ke belakang. 

“Saya Pak!” tampak siswa laki-laki angkat tangan menunjukkan telunjuk jari kanan ke atas. Wajahnya sedikit tegang. Mungkin ada rasa takut jika saya marahi.

 “Wah, bagus,” jawabku spontan sambil mengepalkan dua tangan ke depan dan ibu jari kedua tangan saya mengarah ke Reza. Kuberikan senyum kepadanya. Saya sangat bahagia. Reza, pagi ini tampil berbeda. Rambut yang biasanya kusam tak terawat, kelihatan berminyak dan sedikit dijambul ala anak gaul. Wajahnya pun berubah cerah ketika melihat saya tersenyum. Dia pun lantas tersenyum.

“Terimakasih ya. Kamu ganteng pagi ini,” pujiku sambil tetap tersenyum. Teman-temannya tertawa sambil memperhatikan wajah Reza. Semoga tawa mereka seperti senyumku yang meluncur dari rasa bahagiaku. Bahagia karena Reza berubah. Bahagia melihat wajah Reza lebih cerah dari biasanya.

 Ketika saya lewat di samping kelas 7 a, suasana tampak ramai. Membuat aku penasaran. Saya melongok ke pintu. Tidak ada gurunya. Tapi ada tugas. Mereka ramai karena sibuk saling mencotoh.

Tiba-tiba ada suara langkah kaki yang berlari masuk kelas. Melihat saya di dalam, dia langsung balik. Keluar lagi. Segera kutengok di teras. Segera kupanggil.

 “Mau kemana?” suaraku lantang karena dia berlari meninggalkan kelas. Dia pun berhenti. Kulambai agar kembali ke kelas.

“Kamu mau kemana?” nada tanyaku sengaja kupelankan. Aku ingat pesan salah satu teman FB yang sarjana psikologi. Jika anak bermasalah, dekati. Tanya penyebabnya, tanya permasalahannya. Jangan dimarahi atau difonis tentang kesalahan yang dilakukan.

“Ke kantin pak. Saya belum sarapan,” jawabnya santai

“Kalau memang biasa sarapan di kantin sekolah, berangkat agak pagi, jam tujuh sudah selesai sarapan,” kupegang pundaknya sambil kuperhatikan wajahnya. Kusut, rambutnya acak-acakan. Bajunya belum diseterika. Krah bajunya pun tak bersih mencucinya. Kelas yang kulewati ada gurunya mengajar. Tetapi mengapa Reza 7 a mondaar mandir?

Kuberanikan diri masuk ke kelas. Guru pengajar berdiri di depan meja guru sambil mengawasi siswa yang mengerjakan tugas. Kuanggukkan kepalaku tanda minta ijin masuk.

 “Lo, di depan ada gurumu. Kamu mondar mandir keluar masuk kelas? “ kudekati Reza yang berdiri di depan kelas. Teman-temanya asyik mengerjakan tugas, tetapi dia bermain sendiri tak peduli pada gurunya. Dan guru nya pun bersikap sama. Tak peduli pada ulah Reza. Saya lantas ingat curhatnya dua orang ibu guru.


“Saya tidak bisa mengatasi Reza Pak. Kalau diajar mondar mandir. Dimarahai gak berubah. Bahkan keluar masuk kelas. Daripada capek ngurusi Reza, saya biarkan saja. Lebih baik ngurusi yang lain, agar pelajaran berjalan.”

Sekarang saya melihat sendiri. Keadaan di kelas seperti ini. Akhirnya kuajak Reza ke kantor. Kurangkul pundaknya sambil berjalan.

Agak sulit memulai dari wajahnya yang dingin. “Kamu ngerti nggak mengapa saya panggil?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Ya Pak. Saya nakal,” jawabnya jujur.

 “Nakal bagaimana?” aku makin penasaran dengan kejujurannya. Dia menyadari bahwa dia nakal. “Nggak tau. Kata teman-teman, saya nakal,” jawaabnya datar. Seperti tak merasa bersalah.

“Gurumu di kelas, mengajar. Kamu bermain sendiri, modar-mandir. Maksudmu bagaimana?”

“Nggak apa apa Pak.”

 “Nggak apa apa bagaimana?” tanyaku heran. Kucoba untuk menahan diri. Aku nggak boleh marah. Marah tidak akan menyelesaikan masalah. Anaak-anak seperti ini perlu bantuan untuk menyelesaikan masalahnya. Perlu bantuan untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapinya.

 Ekspresi anak ini aneh. Dingin. “Ya pengen saja jalan-jalan. Bermain.”

 “Bapakmu kerja apa?” tanyaku mengalihkan perhatiaan.
 “Bapak sudah meninggak Pak,” jawabnya datar. Pandangannya kosong

 “Ibumu?”
 “Juga sudah meninggal.” Tiba-tiba aku menghela nafas dalam-dalam. Anak ini ternyata yatim piatu? “Kamu masih ingat wajah kedua orang tuamu?”

 “Kalau wajah bapak, saya belum ingat Pak. Tapi wajah ibu masih ingat. Karena ibu meninggal ketika saya kelas 4 SD,” ekpresinya berubah. Dia tidak berani memandang wajah saya. Dialihkannya pandaangan ke dinding samping tempaat dia duduk. Entah aapa yang dipikirkannya.

“Kamu ikut siapa?”
“Bude Pak.”
 “Yang membiayai kamu Bude?”
“Bukan Pak. Mbak itu anaknya Bude. Dia kerja di Hongkong.” Sudah yatim piatu. Tinggal bersama budenya dan dua orang sepupunya. Budenya tiap sore berjualan kopi di dekat perempatan, mulai pukul 5 sore sampai pukul 4 pagi.

 “Kalau kamu nakal, apa tidak kasihan pada Mbak yang membiayaimu?”

“Kasihan Pak,”

“Kalau kasihan, mengapa kamu nakal? Apakah kamu tidak ingin melanjutkan sekolah?”
“Pengen Pak. Saya pengen ke SMA”
“Andai kamu punya adik, kamu biayai sekolah, yang biayai sekolahnya seperti ini, bagaimana perasaanmu?”

Riki menunduk. Dia menghela nafas panjang. Entah apa yang ada di benaknya. Hatiku mulai senang. Berarti hatinya mulai terbuka. Hatinya mulai tersentuh.

“Kalau pulang sekolah, malam ngopi di mana?” kucoba untuk mencari tahu kegiatannya sepulang sekolah.
 “Saya nggak ngopi Pak. Paling duduk duduk di rumah teman. Ngobrol.”
“Temanmu sekolah di mana?”
 “Mereka sudah bekerja semua Pak.”
 “Kerja apa?”
 “Itu lo Pak, di pabrik peralatan dapur,” tangannya bergerak mempergakan kerja temannya yang diketahuinya membuat sendok dari limbah plat.

 Kecamatan Ngunut terkenal dengan industri rumah tangga. Pekerjanya tidak memerlukan pendidikan khusus. Hanya keterampilan yang cukup dipelajarai dalam waktu tiga hari.

“Apakah kamu tidak ingin bekerja lebih baik dari teman-temanmu?”
 “Iya Pak.”
 “Makanya, sekolah yang sungguuh-sungguh.”
“Ya Pak,”
“Okey, saya berharap kamu berubah. Agar hidupmu nanti juga berubah. Sekolah sungguh-sungguh, agar yang membiayai kamu senang. Apakah bentuk ucapan terimakasihmu pada yang membiayamu?”

“Sekolah sungguh-sungguh dan tidak nakal Pak,”
Saya berdiri. Saya jabat tangannya. Erat kugenggam. “Saya senang dengan ucapanmu. Buktikan bahwa kamu bisa berubah.”
“Kalau saya mau menasehati, berarti saya sayang sama Rezai. Saya ingin Reza berubah. Besok saya akan ke kelas, melihat perubahanmu. Okey?”

Dia mengangguk. Kusilakan dia kembali ke kelas.

“Terimakasih ya. Ingat, saya sayang sama Riki, pengen melihat Riki lebih baik.”

Selasa, 08 Maret 2016

PANTI ASUHAN PENDERITA HIV

Tulisan ini merupakan catatan kecil namun bermakna besar.
Saya katakan bermakna besar, karena ultah yang semula tak ingin saya rayakan, namun saya rayakan juga. Walau bentuknya berbeda. Berbagi kasih berbagi kisah dengan penghuni panti asuhan yang sangat istimewa.
Istimewanya? mereka adalah penderita HIV bawaan dari lahir. Bawaan dari orang tuanya. Bawaan dari ibu kandungnya..
Mereka tidak minta dilahirkan dengan keadaan penyakit HIV, mereka tidak mengerti apa-apa. Mereka tidak berdosa.
Tapi mengapa mereka dikucilkan? Mengapa mereka dianggap bencana?
Semoga tulisan kecil ini menggugah pembaca bahwa mereka perlu pertolongan. Mereka perlu motivasi. Mereka bukan wabah menular.


Membantu anak-anak penderita HIV. Mungkin satu-satunya di Indonesia.


Ayo dik, bubuk.... bujuk salah seorang penghuni panti asuhan kepada bayi yang belum genap 3 tahun. Dibelainya rambut anak kecil itu, dirayunya agar mau tidur. Dia bukan adiknya. bukan siapa siapa. Tapi kasih sayangnya tumbuh secara alami. Tanpa tendensi apa-apa.

Yang lebih besar, tidak sempat makan. Dia menikmati nasi goreng bikinan bapak yang agak pedas. Anak-anak yang lebih kecil sudah makan duluan. Dengan lauk abon dari ibu asrama. Tapi baru saja menikmati makanan, adik-adik kecil pun datang minta disuapi. Tak ada rasa marah. Dia punn menyuapai mereka secara bergantian. Ceria wajah-wajah si kecil. Iklas terpancar wajah yang lebih besar. Indahnya k=ikatan persaudaraan mereka./

Yang sudah kenyang merebahkan diri sambiol mengelus perutnya, Yang belum kenyang tetap asyik menunggu suapan dario kakaknya. Bukan kakak kandung. Hanya bertemu di panti asuhan.. Sang kakak rela menahan lapar demi adik adiknya. Padahal baru kelas 3 SD. Padahal adik-adiknya juga baru makan.



Mandiri. makan sendiri. Tanpa disuapi. Sepiring nasih hangat pun habis. Usia 3 tahun bisaa makan sendiri. Ditempa keadaan oleh panti asuhan. Tak peduli bapak ibu kandungnya siapa.


Belajar makan s endiri. Ditunggui bapak panti.. Tanpa bentakan. Tanpa belaian.



Bapak panti asuhan tidak kebagian lauk. Akhirnya menggoreng nasi. 
Tapi ketika menikmati nasi goreng, anak-anak datang minta disuapi. Padahal mereka baru saja makan, bahkan ada yang tidak menghabiskan jatah makannya.
"Apa nggak kepedasan Mas?" tanyaku melihat anak-anak disuapi.
"jamu-jamu nggak apa apa ya biar cepat gede," jawab Bapak Panti Asuhan sambil menyuapi mereka dengan senyuman. Pedas nggak apa-apa, untuk obat biar cepat besar. 
Dengan telaten bapak menyuapio mereka yang datang bergantian. Setelah tidak ada yang datang barulah melanjutkan menikmati nasi goreng masakan bapak panti.



Yang masih kecil disuapi ibu panti asuhan. Ternyata ibu panti asuhan juga penderita HIV. Ketularan dari siaminya. Suaminya meninggal setelah terapi 2 tahun. Alhamdulilah anaknya negatif. Sambil mengasuh anaknya, sambil merawat dirinya, dinikmatinya sakitnya untuk membantu sesama penderita HIV. Dia ibu baik-baik, bukan "nakal" seperti sangkaan orang. Suaminya yang suka "jajan" dan menularkan penyakit dari hasil "jajan" ke istrinya.


Usianya belum 4 tahun. Makan s endiri. Ketika ada nasi yang tercecer, dengan telaten mengambili dan membersihkannya. Hebatnya pengasuh panti asuhan. Bisa mendidik mereka bisa mandiri.




Ketika minta foto, dia lari mendekati temannya yang paling kecil. Dipeluknya, dicoumnya. Menunjukkan betapa tulusnya cintanya pada penghuni panti asuhan yang di sini belum sebulan. Mengajak dia untuk kuat dan tegar seperti dirinya.


Mereka ceria. tak memiliki beban apa-apa. Mereka pun tak tahu mengapa harus berada di panti asuhan ini. Yang dia tahu bermain, tertawa bersama teman-temannya. Ruitinitas minum obat pagi dan sore. Minum obat sendiri, hafal dengan obatnya masing-masing. Pengasuh panti hanya mengawasi dan mengingatkan ketika saatnya minum obat.



Wajah tanpa ekspresi. Jarang tersenyum. Jarang berbicara. Sesekali berdiri berjalan. Ssesekali menangis tak tahu sebabnya. Belum sebulan di poanti asuhan. Dia diambil relawan dari sebuah keluarga yang tidak menghedakinya dia lahir. Ibunya meninggal menderita HIV. Hanya bersama neneknya yang tua.
Mengapa diajak ke sini? merawat penderita HIV perlu perlakuan khusus. Perlu motivasi. Perlu ketelatenan dalam pengobatan.


ada yang ceria bermain dengan temannya. Ada yang berbaring di kuris sendiri entah memikirkan apa. hanya anak-anak yang bisa menjelaskannya.
Atau mereka pun tak mampu menjelaskannya mengapa terlahir sebagai penderita HIV AIDS yang tidak diketahui itu penyakit apa. 



Ketika ada yang meangis dan sulit dihentikan, Bapak panti punya cara khusus, Direkamnya yang nangis, kemudian diputar hasil rekamnya di hadapan teman-temanya. Mereka tertawa tawa melihat hasil rekaman itu. Dan yang nangis pun ikut tertawa pula melihat wajah nangisnya yg lucu.


Saat menjelang tidur. M<ereka mengambil bantal dan gulingnya masing-masing. Yang besar menyuapkan kasur, Bapak Ibu Asrama mengingatkan tempat tidur mereka masing-masing-masing.
Ada pandangan yang istimewa. Bayi yang belum 3 tahun itu masih minum susu di botol.
Ketika menjelang tidur, dia memangis seperti merintih. Tapi dibiarkan saja oleh ibu asrama. Mungkmkin masih adap tasi, biasanya dalam pelukan neneknya. Kini harus tidur dengan kesendiriannya. tanpa kehangatan dalam tugunya. Tak sampai 5 menit sudah tertidur

Namun tak lama kemudian, dia terbangun. Menangis. Bantal dan bajunya basah. Muntah. Susus yang diminum terlalu banyak.
Ibu membersihkan bajunya dan mengganti yang bersih. Bapak membersihkan tempat tidurnya yang basah
Bukan anaknya, bukan siapa siapa. tapi ada kasih sayang yang tak terbaca.


Sabtu, 05 Maret 2016

Menjadi Guru di Bumi Dayak Benoaq



SK TUGAS GURU DATANG

Sore itu, sepulang dari mengajar, di meja ada surat dari pos. Segera kubuka. Alhamdulilah. Panggilan dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikn dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. Pengambilan SK mengajar.

Sujud syukur kulakukan. Rasa syukur tak henti-hentinya kupanjatkan. Sebagai anak petani yang hidup di kampung, surat itu merupakan kabar gembira yang luar biasa.
Menerima SK di Kanwil Depdikbud Surabaya. Nama Budi Harsono, ditempatlan di SMP Negeri  Tanjung Isni Kutai Kalimantan Timur.

Kaltim? Saya  tidak bisa bicara apa-apa melihat SK itu. Satu sisi hati imi senang diangkat menjadi guru SMP sebagai PNS, di sisi lain? Berbagai tanda tanya menumpuk di otak yang terlalu lugu ini.

Di sekolah, saya tunjukkan SK saya pada Bapak Samsul Afandi, Kepala SMPN Boyolangu tempat saya GTT. Kami melacak peta Kalimantan Tmur. Jauh juga dari samarinda. Apalagi tarnsportasi menuju ke lokasi hanya sungai. Ternyata beliau pernah menjadi Tentara Sukarela  di Kalimantan Timur. Bercerita juga, ada teman di Kanwil Propinsi Samarinda. Berbagai cerita memotivasi saya untuk berangkat. “Jalani saja, agar banyak pengalaman.” pesan Pak Samsul.

Saya yang tidak pernah jauh dari orang tua.  Saya yang anak petani miskin jarang bepergian jauh. Saya yang anak laki-laki satu-satunya dari tiga bersaudara dan berada di tengah, tentu berbeda sikap keluarga mendengar berita itu.

Ibu menangis seharian, tidak mau makan. Dalam benaknya seperti akan  akan kehilangan anak laki-laki satu-satunya. “Dua tahun itu tidak lama, Buk. Saya kuliah Diploma satu, tidak terasa bukan? Itu satu tahun.” Saya mencoba menghibur semampu saya.

Ada waktu dua bulan untuk persiapan nunggu panggilan berangkat. Menunggu uang dari pemerintah untuk bernkat menuju tempat tugas.

Samarinda terkenal dengan kehidupan Islamnya yang maju. Saya pun belajar memebca  Al Quran kepada guru ngaji. Les privat, agar di Kaltim nanti tidak memalukan jika berbaur dengan masyarakat. Maklum, saya sangat minim pengetahuan agama Islam. Bisa mengaji pun sebatas bsia membaca. Tidak ada sekolah khusus agama di madrasah.