“Yang saya cari ada nggak ya?” tanyaku setelah memasuki ruang 7a. Di depan ada teman guru yang sedang menulis di papan tulis. Ibu guru tanggap siapa yang saya cari.
“Ada Pak’” jawab anak-anak serentak sambil menoleh ke belakang.
“Saya Pak!” tampak siswa laki-laki angkat tangan menunjukkan telunjuk jari kanan ke atas. Wajahnya sedikit tegang. Mungkin ada rasa takut jika saya marahi.
“Wah, bagus,” jawabku spontan sambil mengepalkan dua tangan ke depan dan ibu jari kedua tangan saya mengarah ke Reza. Kuberikan senyum kepadanya. Saya sangat bahagia. Reza, pagi ini tampil berbeda. Rambut yang biasanya kusam tak terawat, kelihatan berminyak dan sedikit dijambul ala anak gaul. Wajahnya pun berubah cerah ketika melihat saya tersenyum. Dia pun lantas tersenyum.
“Terimakasih ya. Kamu ganteng pagi ini,” pujiku sambil tetap tersenyum. Teman-temannya tertawa sambil memperhatikan wajah Reza. Semoga tawa mereka seperti senyumku yang meluncur dari rasa bahagiaku. Bahagia karena Reza berubah. Bahagia melihat wajah Reza lebih cerah dari biasanya.
Ketika saya lewat di samping kelas 7 a, suasana tampak ramai. Membuat aku penasaran. Saya melongok ke pintu. Tidak ada gurunya. Tapi ada tugas. Mereka ramai karena sibuk saling mencotoh.
Tiba-tiba ada suara langkah kaki yang berlari masuk kelas. Melihat saya di dalam, dia langsung balik. Keluar lagi. Segera kutengok di teras. Segera kupanggil.
“Mau kemana?” suaraku lantang karena dia berlari meninggalkan kelas. Dia pun berhenti. Kulambai agar kembali ke kelas.
“Kamu mau kemana?” nada tanyaku sengaja kupelankan. Aku ingat pesan salah satu teman FB yang sarjana psikologi. Jika anak bermasalah, dekati. Tanya penyebabnya, tanya permasalahannya. Jangan dimarahi atau difonis tentang kesalahan yang dilakukan.
“Ke kantin pak. Saya belum sarapan,” jawabnya santai
“Kalau memang biasa sarapan di kantin sekolah, berangkat agak pagi, jam tujuh sudah selesai sarapan,” kupegang pundaknya sambil kuperhatikan wajahnya. Kusut, rambutnya acak-acakan. Bajunya belum diseterika. Krah bajunya pun tak bersih mencucinya.
Kelas yang kulewati ada gurunya mengajar. Tetapi mengapa Reza 7 a mondaar mandir?
Kuberanikan diri masuk ke kelas. Guru pengajar berdiri di depan meja guru sambil mengawasi siswa yang mengerjakan tugas. Kuanggukkan kepalaku tanda minta ijin masuk.
“Lo, di depan ada gurumu. Kamu mondar mandir keluar masuk kelas? “ kudekati Reza yang berdiri di depan kelas. Teman-temanya asyik mengerjakan tugas, tetapi dia bermain sendiri tak peduli pada gurunya. Dan guru nya pun bersikap sama. Tak peduli pada ulah Reza.
Saya lantas ingat curhatnya dua orang ibu guru.
“Saya tidak bisa mengatasi Reza Pak. Kalau diajar mondar mandir. Dimarahai gak berubah. Bahkan keluar masuk kelas. Daripada capek ngurusi Reza, saya biarkan saja. Lebih baik ngurusi yang lain, agar pelajaran berjalan.”
Sekarang saya melihat sendiri. Keadaan di kelas seperti ini.
Akhirnya kuajak Reza ke kantor. Kurangkul pundaknya sambil berjalan.
Agak sulit memulai dari wajahnya yang dingin.
“Kamu ngerti nggak mengapa saya panggil?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Ya Pak. Saya nakal,” jawabnya jujur.
“Nakal bagaimana?” aku makin penasaran dengan kejujurannya. Dia menyadari bahwa dia nakal.
“Nggak tau. Kata teman-teman, saya nakal,” jawaabnya datar. Seperti tak merasa bersalah.
“Gurumu di kelas, mengajar. Kamu bermain sendiri, modar-mandir. Maksudmu bagaimana?”
“Nggak apa apa Pak.”
“Nggak apa apa bagaimana?” tanyaku heran. Kucoba untuk menahan diri. Aku nggak boleh marah. Marah tidak akan menyelesaikan masalah. Anaak-anak seperti ini perlu bantuan untuk menyelesaikan masalahnya. Perlu bantuan untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapinya.
Ekspresi anak ini aneh. Dingin.
“Ya pengen saja jalan-jalan. Bermain.”
“Bapakmu kerja apa?” tanyaku mengalihkan perhatiaan.
“Bapak sudah meninggak Pak,” jawabnya datar. Pandangannya kosong
“Ibumu?”
“Juga sudah meninggal.”
Tiba-tiba aku menghela nafas dalam-dalam. Anak ini ternyata yatim piatu?
“Kamu masih ingat wajah kedua orang tuamu?”
“Kalau wajah bapak, saya belum ingat Pak. Tapi wajah ibu masih ingat. Karena ibu meninggal ketika saya kelas 4 SD,” ekpresinya berubah. Dia tidak berani memandang wajah saya. Dialihkannya pandaangan ke dinding samping tempaat dia duduk. Entah aapa yang dipikirkannya.
“Kamu ikut siapa?”
“Bude Pak.”
“Yang membiayai kamu Bude?”
“Bukan Pak. Mbak itu anaknya Bude. Dia kerja di Hongkong.”
Sudah yatim piatu. Tinggal bersama budenya dan dua orang sepupunya. Budenya tiap sore berjualan kopi di dekat perempatan, mulai pukul 5 sore sampai pukul 4 pagi.
“Kalau kamu nakal, apa tidak kasihan pada Mbak yang membiayaimu?”
“Kasihan Pak,”
“Kalau kasihan, mengapa kamu nakal? Apakah kamu tidak ingin melanjutkan sekolah?”
“Pengen Pak. Saya pengen ke SMA”
“Andai kamu punya adik, kamu biayai sekolah, yang biayai sekolahnya seperti ini, bagaimana perasaanmu?”
Riki menunduk. Dia menghela nafas panjang. Entah apa yang ada di benaknya. Hatiku mulai senang. Berarti hatinya mulai terbuka. Hatinya mulai tersentuh.
“Kalau pulang sekolah, malam ngopi di mana?” kucoba untuk mencari tahu kegiatannya sepulang sekolah.
“Saya nggak ngopi Pak. Paling duduk duduk di rumah teman. Ngobrol.”
“Temanmu sekolah di mana?”
“Mereka sudah bekerja semua Pak.”
“Kerja apa?”
“Itu lo Pak, di pabrik peralatan dapur,” tangannya bergerak mempergakan kerja temannya yang diketahuinya membuat sendok dari limbah plat.
Kecamatan Ngunut terkenal dengan industri rumah tangga. Pekerjanya tidak memerlukan pendidikan khusus. Hanya keterampilan yang cukup dipelajarai dalam waktu tiga hari.
“Apakah kamu tidak ingin bekerja lebih baik dari teman-temanmu?”
“Iya Pak.”
“Makanya, sekolah yang sungguuh-sungguh.”
“Ya Pak,”
“Okey, saya berharap kamu berubah. Agar hidupmu nanti juga berubah. Sekolah sungguh-sungguh, agar yang membiayai kamu senang. Apakah bentuk ucapan terimakasihmu pada yang membiayamu?”
“Sekolah sungguh-sungguh dan tidak nakal Pak,”
Saya berdiri. Saya jabat tangannya. Erat kugenggam. “Saya senang dengan ucapanmu. Buktikan bahwa kamu bisa berubah.”
“Kalau saya mau menasehati, berarti saya sayang sama Rezai. Saya ingin Reza berubah. Besok saya akan ke kelas, melihat perubahanmu. Okey?”
Dia mengangguk. Kusilakan dia kembali ke kelas.
“Terimakasih ya. Ingat, saya sayang sama Riki, pengen melihat Riki lebih baik.”