Kamis, 01 September 2016

SALIM PAK (minta jabat tangan)

SALIM Pak.
Saat itu jam ke enam, saya berada di kelas delapan. Seperti biasa, asyik belajar bersama anak anak. kegiatan.
“Assalaamualaikum!” tiba-tiba dikejutkan oleh salah satu siswa yang masuk sambil mengucapkan salam. Serentak seisi ruangan ruangan menjawab salam. Namun situsinya berbeda. Pandangan tertuju pada sesosok sswa yang masuk itu. Semua diam memperhatikan dia. Siswa ini dikenal dengn kenakalannya di kelas. Sering keluar kelas waktu pelajaran. Sering membolos. Bahkan kemaren berantem dengan kakak kelasnya.
Tanpa rasa kikuk dia langsung menahampiri saya yang berada di depan papan tulis. Langsung mengulurkan tangan. Menjabat tangan saya dan menciumnya.
“Ada apa?” tanyaku masih penuh rasa penasaran.
“Pengin salim Pak. Terima kasih.” Jawabnya singkat lantas meninggalkan ruangan. Kuikuti dia ke luar kelas. Khawatir dia dihukum gurunya untuk mencari saya. Ternyata dia masuk ke mushola. Waktunya pelajaran agama.
Saya bernafas lega.

WANITA TAK BERSANDAL

TANPA SANDAL
Tergopoh gopoh seorang ibu berkaos lusuh datang ke sekolah. Di depan pintu kantor dia langsung mengungkapkan isi hatinya. Mungkin sudahlama pertanyaan itu tersimpan di hatinya.
“Pak, saya minta maaf,” wajahnya kelihatan tanpa olesan bedak. Rambutnya hanya diikat dngan tali karet yang biasanya digunakan untuk ikat nasi bungkus. Di pergelangan tangan kirinya terhias dua gelang karet serupa di rambutnya.
“Kata anak saya, sebentar lagi rekreasi. Apakah bisa minta keringanan biaya?” tanyanya penuh harap. Saya tersenyum mendengar permintaan itu. Saya silakan masuk dan duduk di ruang tata usaha.
“Bu, nggak usah minta keringanan. Rekreasi memang program sekolah. Sepulang rekreasi wajib membuat laporan. Tetapi kalau tidak ada biaya tidak perlu dipaksakan,” saya berusaha menjelaskan.
“Terima kasih Pak. Berarti anak saya boleh tidak ikut rekreasi nggih?”
Saya mengangguk mengiyakan.
“Bapaknya hanya penjual bakso keliling Pak. Kadang habis kadang juga tidak,” ucapanya agak tertata. Tapi nafasnya masih ngos-ngosan. Ternyata ke sekolah jalan kaki. Naik sepeda, gembos di jalan. Apesnya, sandal jepitnya putus ketika tergesa gesa jalan kaki menuju sekolah.
“Saya berusaha membantu dengan berjualan nasi bungkus di rumah sakit. Tapi sejak bulan puasa nggak laku. Modal pinjaman tidak bisa mengembalikan.”

IBUKU MEMBAWA BAPAK BARU

IBUKKU MEMBAWA SUAMI LAGI
Jam tujuh elwat sepuh menit. Anak laki laki kelas delapan a itu baru datang ke sekolah. Oleh guru pengajarnya dilarang masuk. Diminta surat ijin ke ruang guru.
“Mengapa kamu terlambat?” tanyaku datar.
“Terlambat bangun Pak!” jawabnya santai. Wajahnya agak kuyu. Kelihatan kurang tidur.
“Tidur jam berapa?”
“Jam 11 Pak.”
Hampir setiap malam dia keluar rumah. Berkumpul dengan teman-temannya. Acara “bakaran”. Bakar ikan lele, bebek, atau ayam. Membeli ayam siap bakar dengan cara patungan. Setelah itu pergi ke warung kopi sambil menikmati internet gratis yang disediakan oleh pemilik warung. Jam 11 malam baru pulang.
“Kamu nggak dimarahi oleh ayahmu?”
“Kalau ayah tahu ya dimarahi.”
Ternyata ayahnya menjadi TKI di Malaysia. Dia tinggal bersama kakek neneknya dan seorang pamannya.
“Ibumu kerja di mana?” tanyaku makin penasaran.
“Di Hongkong,” jawabnya pendek. Wajahnya berubah. Saya makin tak mengerti. Kusuruh melepas jaketnya yang masih menempel di tubuhnya. Kusilakan duduk di kursi di depn saya.
“Bapak di Malaysia, Ibumu di Hongkong. Tiap tahun pulang?”
“Nggak Pak. Ibu saya lama nggak pulang. Ketika saya kelas empat SD sempat pulangi. Membawa suami baru, orang Hongkog.”
Wajahnya memerah. Air matanya mentes. Jemarinya meremas ujung kain penutup meja yang berada di depannya.
Saya pun diam. Ingin kupeluk pundak anak itu. Tapi kutahan. Kubiarkan air matanya berlinang. Kubiarkan tangan kanannya mengusap derai yang membasahi pipinya.
Semoga bapak ibu guru tidak membiarkan dia dalam masalah pribadinya.