Minggu, 26 Juni 2016

KEPOHONAN



KEPOHONAN

Malam itu selepas sholat magrib seperti biasa kami keluar rumah. Sekedar jalan-jalan mengelilingi kampong yang berbentuk tanjung .Perkampungan rapat berderet.Jika keliling kampong hanya sekitar satu kilo meter.
“Mari Pak, silakan diminum!” sapa Pak Gendok dengan ramah.Saya diajak mampir ke rumah Pak Gendok. Pak Seun teman guru SD akan pergi ke Samarinda. 

Pak Gendok adalah ojek perahu yang setiap subuh pergi ke Muara Muntai membawa penumpang.Untuk ikut Pak Gendok harus memberi tahu sebelumnya.Pagi-pagi menjelang subuh dibangunkan ditunggu di bawah.Ditunggu di bawah berarti ditunggu di tepi danau tempat perahu disandarkan.Ada dua ojek di sini. Pak Gendok orang kutai, dan Pak  Husen orang Banjar.

Dua ojek ini sangat membantu kelancaran transportasi tanjung Isuy Muara Muntai.Muara Muntai adalah kampong tepi Mahakam yang cukup ramai.Di sini merupakan pertemuan 3 kecamatan. Kecamatan Jempang, Kecamatan Muara Kedang dan Muara Muntai. Jika jalan raya darat, Muara Muntai semacam terminal.Kapal-kapal sungai Mahakam dari Samarinda selalu berhenti di sini.

Di Tanjung Isuy, khusunya di Kalimantan tidak mengenal mata angina. Tidak mengenal matahari terbit dari timur tenggelam di barat.Yang mereka kenal adalah hilir hulu atas bawah.Atas adalah di darat, bawah di laut.Laut yang dimaksud adalah tepi sungai atau tepi danau.

“Ya Pak, terima kasih,” jawab saya penuh tanda Tanya.Rencana ingin cepat sampai ke bawah, bertemu teman di dekat danau.Rumahnya memang di tepi danau.Tapi diberi minuman the yang baru dituang dari termos panas. Tidak ada piring kecul untuk menuangkan air panas agar cepat dingin.

“Maaf Pak, saya harus segera ke bawah. Telanjur janji, penting,” dengan terpaksa saya menolak minuman yang dituangkan di gelas. Hampir setiap rumah menyediakan air the manis di termos air panas. Disiapkan di ruang tamu yang berbentuk lantai beralas tikar.Jika ada tamu, langsung dituangkannya the ke gelas.Jarang sekali mereka minum kopi.

“Pak Guru, nyantap dulu, kemponan ndia,”  saran Pak gendok serius.
Saya tidak mengerti.Pak Seun menyentuh gelas the yang ada di hadapan kami.Ujung jarinya disentuhkan, kemudian dijilatkan sedikit ke lidahnya.

“Ayo nyantap, Kepohonan nanti,” saran Pak Seun.Saya pun mengikuti. Tak memahami apa maksudnya.
Nyantap adalah mencicipi makanan walau sedikit. Meskipun setetes air atau sebutir nasi harus dilakukan. Masyarakat yakin jika ditawari makanan harus menerima. Jika menolak, akan tertimpa bencana. Bencana itu bisa berupa kecelakaan atau musibah yang lain yang kita tidak bisa menduga. Akhirnya saya bisa melakukan nyantap agar tidak kepohonan.Jika ditawari makanan dan saya tidak menerima karena kenyang, saya ambils edikit makanan itu dan mencicipi untuk saya nikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar