Minggu, 27 Maret 2016

SAYA TIDAK MINTA UANG

SAYA TIDAK MINTA UANG

 Suara itu mengejutkanku yang sedang asyik bermain hp menjawab sms yang tertunda. Tanpa permisi, tanpa mengetuk pintu yang memang terbuka, seorang siswa kelas tujuh masuk ruangan saya. Nada bicaranya yang kental dengan logat Batak itu membuat saya mudah menghafal namanya. Carlos.

“Sebentar, duduk dulu, nggak usah tergesa-gesa,” pintaku sambil menyilakan dia duduk. Pandangannya tetap tertuju pada saya. Bajunya tampak baru dimasukkan. Baju bagian pinggang masih ada yang terselip belum dimasukkan. Celananya tak nyaman dipandang. Tak ada ikat pinggang yang melekat di pinggangnya.

 “Kenapa?” kucoba untuk tersenyum. Dia merasa agak bersalah dengan pandangan saya

“Saya harus bayar sepuluh ribu Pak, untuk makan lima ribu, dan untuk kado lima ribu rupiah Pak,” wajahnya tampak serius.

“Sepuluh ribu kan? Sudah minta pada orang tua?” pertanyaanku agak tidak percaya. Uang sepuluh ribu, untuk kegiatan keagaam memilih untuk tidak ikut. Hanya dua mangkok bakso bukan? “
"Orang tua saya jauh Pak!”
Orang tuamu masih ada?” aku makin penasaran ingin tahu tentang anak Medan ini.
“Masih Pak, di Medan”
“Nggak pernah kirim uang untukmu?”
 “Orang tua saya tidak mampu Pak, makanya saya dititipkan di panti asuhan, dibiayai panti asuhan”

“Yang membiayai kamu siapa?”
“Panti Pak,” dia menyebut panti asuhan dengan kata panti.

 Dia tinggal di salah satu panti asuhan gereja protestan di Ngunut. Saya sering melihat dia dibonceng temannya naik sepeda pancal ketika pergi ke sekolah. Kadang juga hanya berjalan kaki.

“Bagaimana Pak, saya diijinkan untuk tidak ikut Natalan bersama Pak? Saya tidak punya uang Pak”


Saya diam. Wajahnya. Tak tampak wajah kebohongan. Pandangan matanya redup memohon jawaban dariku.

“Ini, silakan ikut.” Kubuka dompet tipisku, dan kusodorkan uang kepadanya. Wajahnya tampak terkejut. Kuulangi lagi perkataanku. ”Silakan ikut!”

“Pak saya hanya minta ijin, bukan minta uang,” wajahnya tampak memerah, matanya mulai berkaca-kaca.

 “Kamu harus ikut, itu kegiatan keagamaan. Sama halnya jika teman-temanmu muslim memperingati hari besar Islam. Jika kamu tidak ikut, nilai pelajaran agamamu akan berkurang,” kucoba memberi pengertian tentang pentingnya kegiatan tersebut. Di sekolahku, jumlah siswa 124, dan hanya 7 orang nonmuslim.
 “Tapi Pak. Saya sudah minta ijin pada bapak guru agama. Katanya, disuruh minta ijin Bapak. Kalau Bapak mengijinkan, saya boleh tidak mengikuti kegiatan tersebut.”

 “Sudahlah,kamu mau ikut bukan? Silakan ikut. Berkumpul bersama teman-temanmu dari sekolah lain, agar bertambah wawasan. Makan-makan juga kan?” sengaja kutersenyum agar dia bersemangat untuk mengikuti. Agar dia melupakan sedikit masalah keuangan yang dialaminya.

Akhirnya dia berdiri. Uang yang kuberikan diterima. Segera dimasukkan saku. Ada titik air di sudut matanya. Digenggamnya tangan saya erat – erat sambil mengucapkan terimakasih.
 “Terima kasih Pak. Terimakasih.”

Kupandangi dia sampai hilang dari balik pintu. Kuambil nafas dalam-dalam. Membayangkan perasaan Carlos, Membayangkan gejolak pikirannya. Membayangkan lebih ceria dari sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar