Selasa, 05 April 2016

DILOMPATI IBU DI TENGAH PINTU


BERANGKAT KE KALIMANTAN

Ketika panggilan untuk berangkat, saya memilih naik pesawat. Dengan pertimbanga cepat dan keamanan. Uang saku 365 ribu rupiah dari pemerintah, saya belikan tiket pesawat merpati 64 ribu. Seragam PSH, dan beberapa Menjelang saya berangkat, ada beberapa peralatan yang dipersiapkan. Jarik (kain panjang batik yang dipakai ibu-ibu suku Jawa), potongan ujung stagen ( ikat pinggang wanita jawa, yang dililitkan kira2 sepanjang 2 m), segenggam tanah dari rumah. Ketiga benda itu diikat dijadikan satu untuk dibawa pergi.
“Jika kamu sakit atau kangen pada ibu, ambil kain itu, pakailah untuk selimut,” pesan ibu sambil mengusap air matanya.”

Dalam adat Jawa ada nasehat dan perlambang dari benda-benda yang saya bawa untuk pergi ke tempat yang baru. Segenggam tanah adalah perlambang bumi kelahiran, menyatunya jiwa dengan bumi tempat lahir. Harus dibawa agar bisa adaptasi di sana, karena di bumi yang baru tidak jauh berbeda dengan bumi yang lama. Potongan ujung ikat pinggang (stagen) adalah menyatunya hati dengan orang tua. Ikatan batin dari ibu yang melahirkan agar tetap erat, karena doa ibu pada anaknya sangatlah dekat dan segera sampai ke hati, dalam arti makin dekat pada Pencipta.

Sebelum berangkat, saya sungkem pada semua keluarga. Pagi-pagi adikku yang bungsu sudah menangis sambil menjabat tanganku, karena harus berangkat sekolah di SMP kelas dua. Kakakku yang biasanya berada di Pucanglaban Tulungagung selatan,  (30 km dari rumah) berada di rumah sejak kemaren.

Semula saya ingin berangkat sendiri ke Surabaya untuk menuju Juanda. Kakak pun sependapat dengan saya. Daripada ngantar ke Surabaya, lebih baik untuk tambah uang saku. Tapi orang tua menentang keras. Saya harus diantar. Padahal saya berani  berangkat sendirian. Tapi demi menjaga perasaan orang tua, saya pun diantar kakak.

Semua sudah kujabat tangannya, kucium pipinya dengan linangan air mata, hanya ibu yang belum. Giliran akan berjabat tangan pada ibu, sudah ada tikar yang dibuka ditengah pintu rumah. Saya diminta berbaring telentang. Ibu pun melangkahi tubuh saya sebanyak tiga  kali dengan doa- doa yang tak pernah lepas dari bibir dan hatinya. Bundaku ibuku, penyemangatku.

Di perjalanan  menuju Surabaya, banyak nasehat yang diberikan oleh kakak. “Di rantau harus pandai mencari teman, rajin mencari saudara, jangan sombong. Pegawai adalah panutan, jangan sembarangan, jangan pelit,” itulah nasehat yang sampai sekarang saya ingat. Dan itulah kenangan terahir saya dengan kakak, karena bulan ke lima saya di Kalimantan, kakak meninggal terkena sakit hepatitis B.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar