NAIK PESAWAT
Inilah pertama kali saya akan naik peswat terbang. Dalam kepasrahanku pada Allah, rasanya seperti berangkat perang. Siap mati di medan laga. Kupasrahkan semuanya diri ini pada Ilahi.
Sampai di tempat duduk, kuperhatikan kiri kanan. Tidak ada penumpang yang istimewa. Pakaian mereka biasa saja. Bahkan ada yang hanay pakai kaos olah raga. Berarti mereka telah terbiasa naik pesawat.
Tidak seperti bayanganku sebelumnya. Di pesawat adalah orang-orang berduit. Para pejabat.
Sengaja kupilih transportasi pesawat udara, dengan pertimbangan kemanan, tidak mabuk laut. Karena uang saku dari pemerintah waktu itu Rp285.000,00. Tiket pesawat cukup Rp 84.000
Ya Allah begini rasanya naik pesawat. Ketika peswat menukik ke atas, telinga rasanya mendenging dan sakit. Mau gupegang telinga seperti kalau baru dengar suara petasan, ada rasa malu. Terpaksa kubiarkan saja sambil menahan rasa sakit. Lama-lama rasa itu hilang juga.
Menjelang bumi Kalimantan, tampak dari atas tanah berwarna coklat kemerahan. “inikah bumi Kalimantan? Warna tanhanya jauh berbeda dengan bumi Jawa bagian Tulungagung. Bagaimana warna airnya?”
Menjelang turun dari pesawat, kulihat alamat yang kutuju. Bapak Suwandi, Kepala SMA Penajam. Alamat Rumah jalan Kampung Gunung Samarinda, Gang.. Nomor..
Setelah naik taksi, sampailah saya ke tujuan. Ada seorang ibu yang menemui saya. Sama-sama bingung, karena belum kenal, dan suaminya tidak pesan apa-apa. Saya sampaikan kalau saya sudah kirim surat seminggu sebelumnya bahwa saya akan mampir ke sini.
Perkenalanku dengan tuan rumah bermula ketika saya legalisir ijasah Diploma 1 di Kampus Kentintang IKIP Surabaya. Di kampus, saya diperkemalkan dengan alumni IKIP Surabaya yang kebetulan dinas di Balikpapan. Dari perkenalan itu akhirnya saya memutuskan utnuk menjadikan alamat P Suwandi sebagai tujuan pertama menuju bumi Kalimantan.
Tidak ada bayangan sama sekalai. Akan menuju Kalimantan, tidak punya kenalan siapa pun, hanya berbekal alamat orang yang baru kukenal 5 menit.
Terdengar pintu kamar diketuk. “Mas, gak mandi, sudah sore!” suara lelaki yang agak kukenal. Mudah-mudahan P Suwandi. Ternyata benar. Jam di tangan saya menunjuk angka 16.20 wib.
Pak Wandi cerita kalau ngajar sampai jam 4 sore. Kulihat jam dinding menununjukkan angka berbeda. Lebih cepat 1 jam. Baru kusadari, saya berada di Indonesia bagian tengah.
Di tangan P Wandi ada surat dari pos, dengan amplop “KILAT”. “Ini, surat yang Mas Budi kirim baru nyampek. Surat kilat dari Tulungagung Jawa Timur baru sampai ke Balikpapan Kaltim selama seminggu. Kalau tidak kilat berapa hari?
Pak Wandi bercerita oanjang lebar tentang menjadi guru di bumi Kalimantan. Saya disarankan untuk berangkat besok pagi. Diberi saran rute perjalanan dan angkutan yang bisa mengantar saya ke Kanwil Depdikbud Samarinda.
Pergi kamar mandi, ternyata berada di lantai bawah. Lantai atas, ruang tamu ruang tidur berhadapan dengan jalan raya. Dapur, kamar mandi dan gudang berada di bawah. Ada bak penampungan air cukup besar. Ternyata bak penampungan air hujan. Air pam ada, tetapi cukup mahal. Sehingga warga sekitar berhemat dengan memanfaatkan air hujan untuk cuci mandi.
Ada rasa aneh mandi air hujan. Kurang segar. Anehnya lagi, 5 menit setelah mandi, kulit saya gatal gatal, dan bisulan. Berarti alergi. Wah bingung juga. Besok paginya, saya mandi di sumber air, 50 meter turun ke bawah. Airnya berwarna kecoklatan, persis air hujan yang baru turun di halaman rumah. Tapi banyak penduduk yang mandi di situ.
Sambil memejamkan mata, kuguyur juga tubuh ini. Balikpapan yang terkenal itu ternyata seperti ini. Tapi lebih segar dibanding mandi air hujan. Inikah bumiku yang baru nantinya?
Pagi itu saya sarapan pisang goreng dan teh hangat. “Yuk dimakan, Cuma ada “sanggar pisang”. Kata Bu Wandi. Sangar? Aku tersenyum. Pak Wandi menjelaskan, kalau pisang goring namanya sanggar pisang. Itu bahasa Banjar. Di Kalimantan Timur, bahasa banjar lebih dominan.
Kunikmati juga pisang goring hangat. Pisang kapok. Di sini menjadi pisang favorit untuk sarapan pagi. Di warung-warung kaki 5, selalau ada pisang goring. Disajikan dengan sedkit gula puitih. Jarang yang minum kopi. Teh panas dan pisang gorang.
Teh yang saya minum rasanya sangat berbeda dengan yang kuminum hari-hari di rumah. Rasanya agak tajam. Tak ada wangi khas melati seperti teh yng kuminum di rumah. Bentuknya pun bukan daun, tetapi seperti serbuk gergaji.
Diantar P Wandi di depan gang, saya dicarikan angkutan menuju terminal. Ada bus bus kecil yang siap di sana. Sepi. Itulah kesan yang muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar